《Dua puluh》

40.2K 3.4K 297
                                    

Keesokan paginya aku terbangun ketika merasakan sinar matahari menembus retina mataku. Sedikit berat, kucoba membuka mata. Saat tubuhku menggeliat, spontan aku mengerang. Karena merasakan nyeri dari bagian pinggang ke bawah. Antara percaya dan tidak percaya, tapi semalam Aktar melahapku habis-habisan. Layaknya seperti pria normal yang sering aku ciptakan dalam setiap novelku. Mungkin itu efek dari obat perangsang, tapi yang jelas Aktar tahu bagaimana cara memasuki seorang perawan. Maksudku, dia tidak langsung main menerobos masuk. Aktar melakukan foreplay lebih dulu, untuk membuatku basah. Agar aku tidak terlalu kesakitan saat menerima dirinya untuk masuk ke dalam inti diriku. Tapi walau sudah ada pelumasnya pun, tetap saja aku merasa sakit saat dibobol.

Pokoknya tidak ada enak-enaknya sama sekali. Aku tidak menemukan sisi nikmatnya, kecuali waktu Aktar menyerang di bagian dada. Kalau scene itu aku suka, meski sekarang harus menahan rasa perih di dada efek dari tindakannya.

"Kau sudah bangun?" Tanya pria yang sudah menjadi suamiku itu.
Dia baru keluar dari dalam kamar mandi. Aktar terlihat luar biasa lezat dalam kaos abu-abu dan celana panjang longgar. Sepertinya dia baru selesai mandi, karena rambut hitamnya terlihat basah.

"Kok kau bisa ganti baju santai? Bukannya semalam di koper kita cuma ada baju tidur?" Tanyaku dengan suara parau khas orang baru bangun tidur.

"Orang tua kita yang membawakannya. Bajumu juga ada di sana," Ujarnya seraya menunjuk tas jinjing berukuran sedang yang ada di atas sofa.

"Orang itu datang ke sini?"

Dia mengangguk. "Iya. Pagi-pagi tadi mereka datang mengetuk pintu kamar untuk ngantar baju kita berdua."

Ponselku tiba-tiba berdering dan terlihat nama Mamaku yang berada di layar panggilan itu.

"Hmm... kenapa Mak?" Jawabku dengan posisi duduk seraya menahan selimut di tubuhku agar tidak merosot ke bawah.

"Kayak mana teh buatan Mamak? Terus lingerienya masih utuh nggak Bii?" Celetuk beliau terkekeh.

"Mamak kok tega kali kek gitu?"

"Kok nyalahin Mamak? Mamak kan cuma terinspirasi dari cerita novel kau yang ada adegan tindih-tindihan karena pengaruh obat perangsang. Maksud Mamak biar kau lebih totalitas nulis, jadi harus merasakannya sendiri apa efek obat perangsang itu. Sekarang kau pasti udah pintar menjabarkan dalam ceritamu. Udah ada pengalaman soalnya."

"Arimbi sayang... berikan Mertuamu ini cucu secepatnya ya." Itu suara Mamanya Aktar.

"Bapak bisa mendengar suara tangisan bayi dari sini." Ucap Bapak yang ikut meledekku.

Detik selanjutnya kudengar mereka tertawa serempak di ujung telepon. Aku ingin marah, namun rasa maluku lebih dulu merajalela. Mukaku memanas dan kuyakin pasti sudah sangat merah. Jadi segera kumatikan telepon itu.

"Pergi mandi sana," Perintah Aktar.

"Bagian intimku masih sakit. Aku nggak sanggup jalan."

"Serius?" Tanyanya.

"Yaiyalah. Batang kau yang nggak bertulang itu nusuk punyaku berkali-kali. Ibaratkan kayak batang timun yang dipaksa masuk ke lubang hidung yang kecil. Bisa kau bayangkan itu kan sakitnya gimana?"

"Salah kau sendiri. Aku sudah menyuruhmu untuk pergi menjauh, tapi kau malah menyerahkan diri," Ucapnya melimpahkan kesalahan padaku.

"Habis gimana? Aku pun sama terangsangnya kayak kau karena obat itu. Tubuhku juga butuh disentuh." Aku melakukan pembelaan diri.

"Terus kenapa kau jadi menyalahkan aku karena nggak sanggup jalan?"

Keningku mengernyit. "Siapa yang menyalahkan kau? Aku tadi cuma ngasih tahu, kalau bagian intimku itu sakit."

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang