Tiga puluh lima

27.6K 2.7K 236
                                    

Pagi ini aku datang ke rumah, sesuai permintaan Mama. Aku juga sudah menyiapkan diri lahir batin untuk mendengarkan ceramah kedua orang tuaku. Dan sebisa mungkin aku tidak akan menitikan air mata saat disidang nanti. Semoga saja.

Mama dan Bapak terlihat sudah duduk menunggu di ruang tengah. Aku sengaja memilih datang pagi-pagi begini supaya cari aman, karena Abang dan Kakak iparku sudah berangkat kerja. Jadi setidaknya yang menceramahiku berkurang jumlahnya.

"Sini kau duduk, ngapain pula berdiri kayak patung di situ? Bikin semak pandangan orang aja."

Belum apa-apa tapi aku sudah mendapat semburan dari Mama. Oke fix, aku lebih memilih duduk bersama Bapak yang meski marah tapi tidak pernah main tangan ke anak-anaknya, daripada harus duduk di sebelah Mama yang begitu ringan tangan. Ditambah lagi membiarkan telingaku yang mendengarkan sumpah serapahnya.

"Sebelumnya Bapak udah dengar ceritanya dari Mamakmu, tapi Bapak juga mau dengar versi dari kau. Jadi ceritakan apa yang kau rasakan, keluarkan semua uneg-unegmu. Jangan ditahan atau dipendam, biar ngeplong hati kau. Perempuan kan gitu, kalau nggak dikeluarin semuanya malah jadi stress. Makanya Bapak selalu maklumi kalau Mamakmu cerewet kayak gitu," ucap Bapak memulai pembicaraan.

"Ya Bimbii nggak suka aja kalau Mamak terlalu mengatur hidup Bimbii, mungkin lebih tepatnya mendominasi hidup Bimbii yang bukan anak kecil lagi."

"Memang udah seharusnya yang namanya anak itu mengikuti perintah Mamaknya. Lagian Mamak mengarahkan kau ke jalan yang mulus, bukan masuk ke jurang kau Mamak arahkan. Kalau tadi kayak gitu, baru kau bisa protes!" sahut Mama menatapku geram.

"Maa... Tahan dulu. Jangan emosi seperti itu," tegur Bapak.

"Kayak mana Mamak nggak emosi, kalau punya anak yang nggak bisa diatur dan nggak mau menurut? Kita besarin dia buat jadi anak yang manis terus berbakti sama orang tua, bukan malah jadi anak durhaka kayak gini."

"Dengarkan kata orang tua, itu yang benar. Bukan harus menuruti keinginan orang tua." Aku langsung meralat ucapan Mama. "Dan kalau Bimbi adalah anak yang durhaka, berarti Mamak termasuk orang tua yang dzolim ke anaknya. Hanya karena aku anak Mamak, bukan berarti aku harus selalu dengerin atau menuruti keinginan Mamak terus-terusan. Ada kalanya orang tua itu juga harus mengerti apa yang diinginkan si anak."

Mama terlihat mulai emosi dan kini menunjuk-nunjukku dengan jari telunjuknya. "Kalau kau nggak mau hidupmu diatur sama Mamak lagi, yaudah sana kau pergi ke hutan. Cari aja Mamakmu yang baru, yang bisa nurutin semua maumu!"

"Aku tahu kalau seorang anak itu memang diajarkan untuk mengikuti keinginan orang tuanya, tapi ya dijabarkan dulu mana yang harus diikuti. Nggak semuanya harus kan? Kalau Mamak larang aku pakai narkoba atau mabuk-mabuk'an, jelas aku bakal nurut. Mamak larang aku buat nggak melakukan seks sebelum menikah, Bimbii juga akan nurut. Tapi kalau Mamak melarang aku pacaran dengan Niko. Jelas Bimbii nggak mau. Ini hidup aku. Jadi biar aku yang bertanggung jawab dengan pilihanku sendiri!" kataku dengan tegas. Dan tanpa kusadari, air mataku sudah jatuh menetes.

Satu tangan Bapak memberi isyarat ke Mama untuk tidak membalas perkataanku tadi. Melihatku menangis sesenggukan, membuat Bapak merasa iba, lalu satu tangannya merangkul bahuku.

"Sebenarnya Bapak paling nggak suka lihat kau melawan kayak gitu ke Mamakmu. Tadinya mau Bapak kerasin tapi Bapak pikir lagi kau udah dewasa, udah jadi seorang istri pun. Cobalah kau pikir dulu baik-baik, apa ada orang tua yang mau lihat anaknya sengsara? Di dunia ini nggak ada orang tua yang jahat ke anaknya, justru orang tua itu pingin lihat anak-anaknya sukses dan bahagia."

"Ada kok," bantahku kepada Bapak. "Kenyataannya di luar sana masih ada orang tua yang nggak benar dan jahat. Di berita aja ada Ibu yang tega buang anaknya di tempat sampah. Terus ada lagi yang orang tua menjual anaknya untuk prostitusi. Jadi nggak semuanya orang tua itu benar."

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang