"Jangan harap aku akan turun dari mobil!" ancamku setengah teriak begitu Aktar memarkirkan mobil.
"Ya sudah," balasnya tak peduli. Dia turun setelah mematikan mesin mobil dan berjalan masuk ke rumah.
Aku cemberut. Lalu pindah ke kursi belakang untuk mengambil sepatu yang dia buang tadi. Setelah itu aku memutuskan keluar dari mobil karena kepanasan. Air mataku masih mengalir saat memasuki rumah. Bahkan sapaan dari pembantu di rumah aku abaikan. Tapi saat melihat Mama mertua yang baru saja keluar dari kamarnya, membuatku merasa di atas angin. Dengan sengaja aku mengeraskan suara tangisku.
"Loh, sayangnya Mama kenapa nangis?" tanyanya menghampiriku.
"Aktar Ma..."
Beliau memeluk sambil mengusap punggungku dengan lembut. "Dia kenapa?"
"Aku kan lagi ngidam, tapi Aktar nggak mau bawa aku makan di luar."
"Dia nggak mau?"
"Iya, Ma." kataku mengangguk cepat.
Detik selanjutnya, beliau langsung memanggil anaknya itu untuk segera bergabung dengan kami. Tak berapa lama Aktar muncul dengan pakaian santai. Kemeja kerjanya kini berganti kaos hitam polos.
"Ada apa, Ma?" tanya Aktar sambil menuruni anak tangga.
"Ada apa katamu?" tanya beliau balik dengan nada tinggi.
Aktar mengernyit mendapat respon seperti itu dari Mamanya. Jadi begitu sampai di tempat kami berdiri, dia langsung menatapku. "Kau mengadu?"
"Ma...." rengekku dengan nada memelas.
Mama mertuaku langsung memasang badan, dengan berdiri di depanku. "Mama nggak suka ya, kalau kamu semena-mena gitu ke istri."
"Justru dia yang semena-mena ke aku, Ma."
"Jangan memutar balikkan fakta ya. Kata Bimbii kamu nggak mau ngabulin permintaan dia yang pingin makan di luar. Apa salahnya sih nyenangi istri? Bimbi itu lagi hamil, ada anakmu di dalam perut dia. Kamu nggak-----"
"Aku menolak permintaannya, itu karena dia melempar sepatu ke kepala aku. Wajar kan aku marah?" potong Aktar cepat.
"Kepalamu dilempar sepatu?" tanya Mamanya kaget.
Mampus aku!
Mama mertuaku menoleh ke belakang untuk meminta penjelasan padaku. "Benar kamu lakuin itu?"
"I--iya Ma. Tapi itu karena refleks, soalnya dia sengaja nyenggol dada aku. Apalagi hamil kayak gini, itu sensitif banget kalau kesentuh."
"Berapa kali aku harus bilang, aku tidak sengaja!" bantah Aktar.
"Kau sengaja!"
"Heh... Sudah-sudah!" teriak Mama mertua membuat aku dan Aktar spontan terdiam. "Ini kenapa hanya masalah menyenggol dada jadi ribut sih?" tanya beliau dengan wajah bingung.
"Maafin aku, Ma." seru Aktar yang terlihat menyesal.
Sementara aku memilih untuk menundukkan kepala.
"Mama nggak butuh permintaan maaf. Mama cuma mau kalian berdua baikan. Jangan ribut lagi. Itu saja."
"Iya, Ma." sahutnya lagi.
"Mood swing Ibu hamil itu emang luar biasa. Jadi kamu harus lebih sabar, jangan langsung emosi."
Pelahan aku mendongak untuk melihat Aktar yang ternyata sedang melirikku.
"Maaf, Bii." ujarnya padaku.
"Hmm... Aku juga minta maaf." kataku pelan.
"Nah damai gini kan, enak lihatnya." Mama mertua tersenyum sambil merangkul kami berdua. "Karena sudah baikan, sekarang kalian pergi sana makan di luar. Tadi kan tertunda karena ribut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Not?
General FictionIni cerita absurd. Kalo nggak mau gila, jangan dibaca ya.
