Empat puluh dua.

26.9K 2.7K 231
                                        

Aktar tiba di rumah lebih cepat dari perkiraanku. Di waktu yang hampir bersamaan Bapak, Abang dan Kakak iparku juga pulang. Jadi saat ini mereka semua berkumpul di rumah, hanya saja aku disuruh untuk menunggu di depan teras sampai mereka selesai bicara.

"Abang kok keluar? Memangnya udah siap bincang-bincangnya?" tanyaku heran karena Abangku muncul di depan pintu.

"Belum," balas Abangku. Lalu duduk di sebelahku seraya mengeluarkan sebungkus rokok miliknya di atas meja.

"Mamak kalau udah marah ngeri kali, nggak mau maafin anaknya. Mau nangis darah pun awak (aku), nggak ngaruh. Malah makin diusir," ucapku yang mulai curhat.

"Kau pun gitu juga."

"Apa pula? Mana ada aku gitu," protesku.

Abang menghisap batang rokok yang ada di tangannya, lalu kemudian menatapku. "Kau sama Mamak nggak ada bedanya. Sama-sama keras kepala, darah tinggian, sulit diajak bicara kalau lagi marah, ngambeknya lama, udah gitu maunya menang sendiri. Pokoknya rata-rata perempuan hampir kayak gitu sifatnya, kecuali istri Abang. Untungnya dia lain sendiri sifatnya."

"Laki-laki juga kayak gitu sifatnya," balasku tak terima.

Abang bergeleng. "Beda lah. Laki-laki itu kalau marah paling lama 2-3 jam aja, habis itu udah stay cool dan lupa semuanya. Tapi coba kalau perempuan udah marah, itu parah. Karena tahap memori ingatannya itu bisa lebih dari 10 gb. Jadi apa yang orang buat 10 tahun silam pun, kaum perempuan bisa ingat dan pasti bakal diungkit lagi."

"Kok topiknya jadi melebar ke situ? Kan aku tadi lagi bahas Mamak, fokusnya ke Mamak dong."

"Abang cuma nanggapin omonganmu yang bilang Mamak sadis kali kalau lagi marah, sementara kau pun juga kayak gitu. Makanya sebelum bilangin orang lain, lebih baik ngaca sendiri dulu lah."

"Aku kan marah ke Mamak itu ada alasannya Bang," kataku dan menatapnya sedih.

"Terus kau pikir, Mamak marah ke kau itu nggak ada alasannya? Tingkahmu itu udah kelewat batas, makanya Mamak marah. Kalau kau nggak bisa hormat ke orang tua, jangan harap anakmu kelak akan menghormati kau nantinya. Dia bakal ngelawan juga kayak kau gini," ucap Abang dengan penuh penekanan.

"Bimbii cuma nggak suka cara Mamak yang terlalu mengurusi percintaan Bimbii. Mungkin kalau Mamak nggak minta Niko buat putusin Bimbii, bisa jadi sekarang itu kami berdua udah nikah dan bahagia."

Sesaat Abangku menghela napas. Kemudian kembali mengisap puntung rokoknya. "Abang ngerti dan tahu kali apa yang kau rasakan. Sebelum kau, udah lebih duluan Abang yang alami. Kau tahu sendiri, dulu itu Abang pernah pacaran sampai 8 tahun. Tapi Mamak nggak ngerestuin pacar Abang dan suruh putusin. Abang nggak mau putus sampai akhirnya Mamak sakit. Jadi Abang memilih untuk mengalah dan putuskan pacar Abang itu. Terus nggak berapa lama, Mamak jodohkan Abang sama perempuan lain. Itulah dia yang jadi Kakak iparmu sekarang ini. Satu hal yang perlu kau ingat. Terkadang walaupun kita merasa benar, tapi ada saatnya di mana kita itu memang harus mengalah. Contohnya kayak Abang, memang awalnya nggak mudah buat jalaninya tapi ya tetap lanjut lihat ke depan sama pasangan Abang."

"Iya tahu. Dulu pun Abang nikahnya kayak nggak niat gitu karena nggak saling cinta sama Kakak ipar. Dapatkan Ral aja nunggu dua tahun baru dia ada."

Abangku tertawa. "Ya semuanya itu butuh proses. Namanya juga dua orang yang baru kenal, terus diikat dalam satu pernikahan. Tapi sekali lagi ya, untungnya Kakak iparmu nggak cengeng kayak kau. Dia itu dewasa, jarang ngeluh, mandiri, nggak pernah nyusahin suami. Bukan Abang keberatan disusahin istri, cuma itu ada nilai plusnya di mata Abang. Itu yang buat Abang percaya dia bisa jadi Ibu yang baik dan yang akan besarin anak-anak Abang. Makanya sekarang Abang terimakasih banyak ke Mamak. Andai dulu Abang nolak perjodohan itu, mungkin Abang nggak akan punya anak sebijak Ral. Atau bisa jadi Abang malah nggak punya anak kalau maksain nikah sama mantan pacar Abang."

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang