Enam Puluh.

33.7K 2.4K 251
                                    

Sehabis dari rumah si Sadako, aku tidak langsung pulang ke rumah karena aku butuh hiburan sekarang. Jadi aku memilih hangout dulu bersama Cecil, Intan dan Terra di salah satu angkringan yang ada di Medan. Saat ini aku sedang mendengarkan keresahan dari ketiga sahabatku yang sibuk meratapi nasib kejombloan mereka di malam minggu.

"Nyari pasangan itu emang nggak semudah nyari masalah gaes," ujar Intan sambil mengaduk jus alpukatnya.

"Kalo menurutku nyari pasangan itu gampang. Yang susah itu, nyari pasangan yang mau sama kita," sambung Terra.

Intan melirik Terra dengan tatapan kesal. "Sama aja itu, lontong!"

Aku menyenggol tangan Terra yang duduk di sebelah kananku. "Udah kau nyimak aja. Nggak usah cakap, bikin emosi orang aja."

"Salah aja pun," sungut Terra.

"Sebenarnya aku happy-happy aja sih jomblo. Tapi kadang mulut orang lain itu yang buat galau," lanjut Intan lagi.

Cecil menyahut dari sebelah kiriku. "Tapi di antara kalian, kayaknya nasibku lebih ngenes. Pertama, aku ditinggal nikah. Kedua, sekitar tiga bulan lagi Adekku mau nikah. Bayangin aja dilangkahi nikah sama Adek, rasanya tuh pingin nangis tapi nggak ada air mata yang keluar."

"Pingin ketawa juga, tapi takut dosa. Tapi kalau diingat dosaku kayaknya udah banyak jadi nggak apa-apa lah ya Cil?" seru Terra yang diiringi tawa.

"Tapi Cil, bukannya adekmu si Casandra masih umur 21 tahun ya? Kok cepat kali nikah? Terus kuliahnya gimana?" tanyaku mengabaikan Terra yang tertawa.

"Cowok Adekku itu kan anak tunggal. Dan Mamanya udah sakit-sakitan, jadi keluarga si cowok minta nikahnya dipercepat. Biar Mamanya si cowok bisa ngelihat anaknya nikah. Papaku sih ngasih restu, tapi dengan syarat si Casandra nggak boleh hamil dulu sampai dia wisuda. Rasanya tuh nyesek pas acara lamarannya, di mana para tamu dan tetangga lebih sibuk nanyain kapan aku nyusul. Itu malu kali sumpah. Nanya kapan nikah udah kayak nanya, kapan kau mati. Gimana nggak sedih aku coba."

"Yaudahlah Cil, selow aja. Mungkin jodoh kita masih disuruh ngantri ama Tuhan. Lagian nikah itu bukan satu-satunya cara buat bahagia. Lihat aja si Bimbii, udah nikah tapi masih gagal move on dari mantan. Itu artinya kita yang masih sendiri ini belum tentu jelek keadaannya daripada yang udah nikah," celetuk Intan.

"Apa sih Tann, kok jadi nyenggol-nyenggol ke aku?" tanyaku tersinggung.

"Kok kau marah? Kan yang aku bilang itu kenyataan."

Aku hendak membalas perkataan Intan namun ponselku berbunyi. Melihat nama Aktar yang tertera di layar, langsung saja aku menolak panggilannya. Tapi dia terus menelpon, lalu kukirim pesan padanya agar tidak menelpon karena aku sedang di luar bersama temanku. Setelah itu aku mematikan ponsel dan kembali memandang Intan.

"Dengar ya, Tann! Meski aku sering ngeluh ke kalian ini dan itu, bukan berarti aku nggak bahagia. Kau jangan nilai orang dengan sebelah mata bisa nggak sih?! Matamu kan ada dua, dipake dong. Memangnya kau Dajjal, yang matanya dipakai cuma sebelah hah?!"

"Jangan ngegas dong, Bii. Bisa kan lebih santai bicaranya? Kalau kau ngerasa tersinggung, berarti omonganku yang tadi benar dong. Makanya jadi manusia itu harus sering-sering intropeksi diri. Kalau mau memaki- intropeksi dulu, mau emosi-intropeksi, dan sekarang mau bilang aku Dajjal yang matanya satu?? Sadar Bii... intropeksi diri juga kali!"

"Udah-udah weii, kenapa jadi ribut pingin jadi Dajjal sih? Heran aku tuh!" seru Terra.

"Tahu nih Intan ama Bimbii. Orang-orang jadi ngelihatin meja kita. Kalian berdua bikin malu aja pun," ujar Cecil menatapku dan Intan secara bergantian. "Gini ya gaes,, setidaknya di hidup yang serba suram ini, kita masih bisa meluangkan waktu untuk bersenang-senang. Intinya apapun keadaannya, mau kita jomblo ataupun udah punya pasangan, kita jangan lupa untuk selalu bersyukur."

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang