Empat Puluh Lima.

24.4K 2.7K 549
                                    

Tanpa berpikir lama, aku langsung menjawab jujur pertanyaan dari Aktar. "Aku lagi hamil."

"Aku tahu," balasnya santai.

Seketika wajahku terlihat bodoh saat ini. "Kau tahu?!"

Dia mengangguk sambil bergumam. "Hmm...."

"Siapa yang bilang? Terus sejak kapan kau tahu?" tanyaku tak percaya sekaligus terkejut.

"Tidak ada yang memberitahu. Awalnya aku hanya menduga-duga saja. Aku pernah bilang kan, salah satu karyawan hotelku pernah melihatmu di rumah sakit bersama seorang pria. Lalu dia mengambil fotomu dengan Edgar dan mengirimkannya padaku. Mungkin dia berpikir, kau berselingkuh."

Dunia itu benar-benar sempit. Aku tidak menyangka kalau orang-orang yang mengambil foto kami waktu di rumah sakit itu, ada salah satu karyawannya Aktar.

"Aku mengenal sifat Edgar. Dia bukan tipe orang yang suka menolong dan cenderung tidak peduli. Tapi anehnya itu kenapa Edgar tiba-tiba begitu protektif terhadapmu sampai harus menggendongmu di depan umum? Terlihat seperti ingin melindungi dan menjaga, tapi yang jelas alasannya itu bukan dirimu. Karena aku sangat tahu, dia tidak menyukaimu. Di situ aku berpikir, mungkin kau sedang mengandung. Perlu kau tahu, Edgar itu sangat peduli dan tulus menyayangiku. Hanya ke aku seorang saja. Jadi segala sesuatu yang masih berhubungan darah denganku, Edgar tidak akan menyakitinya. Padahal aslinya dia itu sangat kejam. Kalau dia tidak suka, dia bisa melenyapkan orang itu kapan saja dia mau," jelasnya lagi.

Lututku terasa lemas. Bukan karena cerita Edgar yang kejam, melainkan karena diam-diam Aktar tahu soal kehamilanku tapi dia bertingkah seolah tidak tahu. Dan itu membuatku seperti orang bodoh. Aku tidak tahu harus menyembunyikan ke mana lagi wajahku yang imut ini.

"Astaga!!! Aku rasa kemaluanku membesar sekarang!" Teriakku frustasi di dalam mobil.

"Hah? Membesar?" tanya Aktar yang menatapku agak kaget.

Aku yang tersadar langsung segera meralat ucapanku tadi padanya. "Rasa malu yang membesar, itu yang aku maksud. Kau benar-benar ingin membuatku terlihat bodoh ya? Kalau kau udah tahu dari awal aku hamil, kenapa kau diam aja? Pasti selama ini kau senang menertawakan sandiwaraku, iya kan? Kau jahat, Aktar! Kau lebih kejam dari Edgar! Aku benci samamu! Bencinya pakai kali...."

Setelah mengatakan itu, aku pun menangis sekuat-kuatnya dan menutup wajahku dengan kedua tangan. Di saat yang bersamaan juga, Aktar meminggirkan mobil ke tepi jalan.

"Aku sama sekali nggak ada maksud untuk membuatmu terlihat bodoh," ujarnya agak lama. "Aku hanya mengikuti permainanmu. Sekarang coba aku tanya balik, kenapa kau nggak kasih tahu aku dari awal tentang kehamilanmu itu?"

"Ya karena aku takut kita nggak jadi pisah karena ada anak ini. Lagipula, aku nggak mau kalau anak ini kau ambil nantinya."

"Kau benar-benar egois sekali ya?"

Aku memandangnya dengan sesenggukan. "Aku kan Ibunya. Apa kau tega memisahkan kami berdua?"

"Lalu bagaimana denganku? Apa kau tega memisahkan anak itu dari Ayahnya?"

"Nanti kan aku nikah sama Niko. Dia bisa kok jadi Ayah yang baik."

Aktar tidak langsung merespon. Dia memandangku cukup lama. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Baiklah," ujarnya seraya menganggukkan kepala. "Kita berpisah seperti yang kau inginkan. Tapi begitu anak kita lahir, hak asuh sepenuhnya harus atas aku."

"Apa?" Aku melotot menatapnya. "Enak aja! Aku nggak mau!"

"Kalau kau menolak, ya sudah. Tapi jangan harap kau bisa mudah berpisah denganku."

"Oh, jadi sekarang kau main ancam samaku?"

"Aku tidak mengancam." Aktar kembali menjalankan mobilnya. "Aku rasa itu sudah adil. Kau mendapatkan pria yang kau cinta. Dan aku mendapatkan keturunan yang menjadi penerus di keluargaku. Lagian masa depannya lebih terjamin jika dia tinggal bersamaku. Aku bisa pastikan dia tidak akan kekurangan apapun. Jadi sekarang pilihannya ada di tanganmu. Kita bercerai tapi anak itu bersamaku, atau kita berdua tetap bersama tapi kau kehilangan pria yang kau cintai."

Kali ini aku yang terdiam dan berpikir keras. Aku tidak mau berpisah dengan bayiku, tapi aku ingin bersama Niko juga.

"Jadi bagaimana?" tanya Aktar menuntut jawabanku.

"Aku nggak bisa memilih."

"Kau harus melakukannya."

Aku menatapnya sedih. "Kau kan udah punya segalanya. Apapun bisa kau dapatkan. Tapi kenapa kau harus memisahkan dan mengambil bayiku?"

"Kau lupa? Itu bayiku juga."

Aku menunduk dan mengelus bagian perutku yang masih rata. "Baiklah.... kau yang akan mengasuh anak ini."

Aktar menatapku tak percaya dengan perkataanku barusan. "Kau memilih pria itu dibanding bersama anakmu sendiri?"

"Kau memberikanku pilihan yang sulit!" Teriakku jengkel.

"Isi pikiranmu benar-benar beda dengan perempuan normal."

"Tapi aku punya dua syarat yang harus kau turuti," ucapku lagi.

"Syarat apa?"

"Pertama, kau nggak boleh menikah lagi. Karena aku nggak mau kalau anak kita punya Ibu tiri. Dan yang kedua, kau nggak boleh melarangku untuk bertemu dengannya kapan pun aku mau. Bagaimana? Kuharap kau setuju."

Dia melirikku sekilas. "Kenapa dia boleh punya Ayah tiri tapi tidak boleh punya Ibu tiri?"

"Ya karena yang namanya Ibu tiri itu rata-rata jahat. Aku nggak mau nanti dia dicubitin dan dipukul diam-diam waktu kau lagi pergi kerja."

"Baiklah, aku setuju. Lagipula aku tidak berminat untuk menikah lagi," ujarnya santai.

"Serius? Wah... aku merasa lega mendengarnya," ucapku jujur.

Dia melirikku lagi. "Kau senang?"

"Iya...." Aku tersenyum sambil mengangguk cepat padanya.

26-Desember-2018

Nanggung ya? Sebenarnya itu masih ada lanjutannya lagi, tapi gue sengaja cut biar partnya banyak wkwkkk...

Besok kalo gak amnesia, gue bakal update wkwkk...

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang