《Tiga Belas》

36.3K 3.5K 261
                                        

"Aaahh... pelan-pelan sedikit!" Teriakku merintih kesakitan menatap Aktar.

"Ini udah pelan."

"Kau melakukannya dengan kasar!"

"Lalu harus bagaimana? Aku tidak ahli melakukannya, karena ini pertama kali untukku."

Aku hanya bisa menangis karena menahan nyeri yang kurasakan.
Kalau sudah begini aku jadi ingin pulang ke rumah dan memeluk si wanita judes kesayanganku yang tidak lain adalah Mama.

"Makanya jadi perempuan jangan pecicilan kali. Lari sana-sini, kayak nggak pernah lihat pantai aja. Norak!" Sembur Aktar. Lalu dengan sengaja ia menarik kuat urutannya di kaki kananku. Jadilah aku menjerit histeris.

Langsung saja kulempar bantal ke wajahnya."Kau tahu tai nggak? Pingin kali aku lempar itu ke mukamu. Udah tahu kaki aku lagi keseleo, malah sengaja kau tarik kuat. Emang setan kau ya!"

"Yang minta diurut siapa? Kan kau sendiri."

"Tapi kan aku bilangnya pelan-pelan. Apa kau nggak paham defenisi dari pelan-pelan? Kau sekolah dasarnya di mana sih? Jangan-jangan kau nyogok lagi makanya bisa lulus!"

"Gigimu nyogok! Kau pikir aku kayak kau? Otak setengah lemot!" Balasnya balik. Lalu dia turun dari ranjang sambil memegang ponsel. "Capek adu mulut sama kau. Nggak akan ada habisnya. Mending aku telepon Dokter aja. Kakimu malah keliatan makin bengkak diurut gitu."

"Aktar nggak usah panggil Dokter. Aku takut disuntik!"

"Emang siapa yang mau nyuntik kau?! Kita minta Dokternya resepkan obat nyeri sama perbankan kaki kau aja!"

Mulutku membentuk huruf O. "Boleh juga usulnya. Yaudah telepon gih Dokternya."

"Sekarang lihat siapa sebenarnya di sini yang sekolahnya nyogok. Aku apa kau?" Sindir Aktar.

"Ini calon istrimu loh yang lagi terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang. Di mana-mana biasanya orang lagi sakit itu dimanja, dielus-elus, diperhatiin. Bukan disindir."

"Kau terbaring lemah di atas ranjang kan karena ulah dan perbuatanmu sendiri. Jadi jangan harap bakal dimanja!"

Oke. Perkataan terakhir Aktar tadi benar. Aku akui ini memang kesalahanku sendiri. Jadi begini ceritanya, begitu kami sampai di pantai Geger. Sanking senangnya aku langsung lari sana-sini dan loncat ke sana ke mari ala film India. Karena dari kecil pun aku memang sudah nggak bisa diam, grasak-grusuk sampai bikin pusing orang lain.

Jadi sewaktu meloncat di tepi pantai Geger, aku lupa kalau aku loncat masih di tepi pantai yang dangkal. Ditambah lagi, ada seorang pria berbaju merah yang menubrukku sehingga kakiku mengalami salah pendaratan. Akhirnya aku terjatuh dan mengaduh kesakitan. Bahkan aku mendengar bunyi 'kretak' di kakiku saat jatuh.

Nyeri sekali. Rasanya mau mati saja. Tapi untungnya Aktar cepat berlari ke arahku, padahal aku belum berteriak minta tolong padanya. Dengan sigap dia menggendong tubuhku untuk kembali ke penginapan. Meskipun sepanjang jalan dia mengomel dan mengataiku bodoh, oon, ceroboh atau apalah itu. Tapi setidaknya dia baik mau menggendongku sampai ke dalam kamar. Mungkin badanku terlihat kecil dan mungil tapi aslinya timbangan badanku itu berat loh.

"Dokter Tobinya sore baru bisa datang," Ujar Aktar sambil membuka pintu kulkas.

"Terus gimana? Masa aku harus tahan nyerinya sampai sore?" Tanyaku padanya. Aktar tak menjawab, dia hanya berjalan menghampiriku membawa kompresan air dingin di tangannya. "Eh.. eh tunggu. Kau mau ngapain?" Aku waspada ketika dia menyentuh pergelangan kakiku yang keseleo itu.

"Dokternya bilang kalau keseleo harus dikompres pakai air dingin selama 20 menit."

"Biar apa?"

"Biar nggak nyeri lagi. Terus bengkaknya nggak jadi melebar luas."

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang