Tiga puluh tujuh.

24.7K 2.6K 129
                                    

Tanganku belum menekan bel, namun pintu gerbang sudah dibuka oleh Satpam rumah. Kulihat Supri keluar dengan menyetir mobil sedan, dan saat melihatku dia melambatkan gerak mobil. Lalu menurunkan pintu kaca seraya tersenyum.

"Mau kemana?" tanyaku penasaran.

"Jemput Ibu Agatha di bandara."

"Hari ini balik?"

Supri menganggukkan kepala. "Nyonya Arimbi mau ikut?"

"Nggak deh, lagi capek banget. Aku nunggu di rumah aja."

"Oh ya sudah, saya pergi dulu. Permisi Nyonya."

"Hmm..." jawabku dengan bergumam.

Jika Mama Mertuaku sudah pulang, itu artinya aku tidak mungkin tidur di kamar tamu. Dan mau tidak mau, malam ini aku harus tidur sekamar bersama Aktar lagi. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju rumah, tanpa membalas sapaan dari Satpam yang aku lewati.

Sesampainya di dalam kamar, aku langsung berbaring di ranjang seraya menghubungi nomor Niko.

"Halo Bii?" Niko menjawabnya dengan cepat. Sepertinya dia memang menunggu telepon dariku.

"Kamu sibuk nggak?"

"Enggak sih, ini lagi jam istirahat. Kamu udah makan siang?"

"Belum... Aku sengaja nunggu Mama mertua pulang dulu, biar bareng makan siangnya."

"Kamu baik-baik aja kan? Semalam nomor kamu nggak aktif. Aku jadi kepikiran kalau kamu pasti lagi nangis karena kena marah keluarga, terutama Mama kamu."

"Iya, aku dimarahin habis-habisan. Kemarin Mamak nampar aku. Terus tadi Mamak bilang nggak akan mau peduli lagi sama aku." Kedua mataku terasa memanas saat mengingat kata-kata yang dilontarkan Mama. Aku tidak sanggup menahan air mataku lagi, jadi kubiarkan cairan bening jatuh itu mengalir.

"Kamu lihat kan? Kita berdua itu memang udah nggak bisa sama-sama lagi. Kalau kita maksain, aku takutnya malah akan semakin nyakitin kamu karena harus bertengkar terus dengan Mamamu. Jangan hanya karena memilih aku, kamu jadi anak durhaka, Bii. Aku nggak mau."

"Tapi aku udah bilang ke Mamak sama Bapak, kalau aku milih kamu. Aku juga udah bilang mau mengajukan pembatalan pernikahan," ucapku sesenggukan.

"Kamu udah yakin Bii? Coba pikir-pikir lagi, jangan sampai kamu nyesal nantinya hidup bersama aku."

"Kok kamu responnya gitu? Kayak nggak senang aku udah milih kamu?" tanyaku sedih.

Niko mendesah panjang, sebelum melanjutkan pembicaraan. "Aku rasa semua ini salah, Bii. Aku nggak bisa memisahkan kamu dari suami dan keluargamu."

"Kamu cinta nggak sih samaku?!"

"Aku nggak perlu jawab itu, kamu udah tahu jelas perasaan aku seperti apa."

"Kamu nggak cinta sama aku. Kamu memang nggak ada niat buat perjuangin aku!"

"Bii... "

Aku menangis sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya karena Niko telah menenggelamkan hatiku.

"Arimbi, dengerin aku dulu." Niko berusaha membujukku.

"Udahlah... Nggak usah sok baik-baikin aku lagi!" bentakku dalam keadaan menangis.

"Aku sayang sama kamu, Bii."

"Bodo a--mat!" Kali ini aku sesenggukan membalasnya.

Terdengar suara tawa Niko dari ujung telepon. "Kamu nangis dulu deh. Nanti kalau udah selesai, sms aku, biar aku telepon balik."

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang