Sudah satu jam lebih aku duduk menatap layar laptop yang ada di depanku, namun tak ada satu kalimat pun yang berhasil aku ketik. Mungkin karena malam ini badanku terasa lemas yang disertai dengan hidung tersumbat, sehingga membuatku sulit untuk berkonsentrasi. Sebenarnya aku sudah menyelesaikan naskah cerita ini dari bulan lalu, hanya saja bagian Editor penerbit memintaku untuk mengubah alur di bagian ending. Menurutnya itu terlalu dramatis dan terkesan dipaksakan, jadi aku harus membuatnya terlihat lebih natural meskipun berakhir dengan sad ending.
"Kau tidurnya di sisi kanan atau kiri?" tanya Aktar yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Terserah kau aja," jawabku lemah sambil menatap layar laptop dengan bosan.
"Apa hari ini kau ada pergi ke rumah sakit?"
Aku sudah siap untuk membenturkan kepalaku ke meja saat terkejut mendengar pertanyaan yang dilontarkan Aktar. "Darimana kau tahu?"
"Jadi ternyata benar, wanita yang di rumah sakit itu adalah dirimu?" tanyanya lagi.
"A--apa kau melihatku?"
Dia bergeleng. "Enggak."
"Jadi kau tahu dari mana?" tanyaku heran.
"Salah satu pegawai yang ada di hotel memberitahuku. Dia baru menjenguk temannya dan tidak sengaja melihatmu di lobi rumah sakit bersama seorang pria."
Aku merasa lega. Kupikir kehamilan ini akan terbongkar. "Oh... Itu aku juga lagi jenguk teman yang baru melahirkan."
Aktar mengangguk dan duduk di pinggir ranjang sambil memainkan ponsel di tangannya. "Tadi aku bertemu temanmu di hotel."
"Temanku? Siapa namanya?"
"Aku lupa. Coba kau sebutkan satu per satu nama teman-temanmu."
"Temanku banyak, masa iya kusebutkan semua? Bisa-bisa berbuih pula mulutku nanti."
"Dia bilang kau teman satu grupnya. Kalau aku nggak salah ingat, dia juga datang ke pernikahan kita dan foto bareng."
"Cecil?" tebakku.
"Bukan."
"Intan?"
Dia bergeleng. "Bukan juga."
"Terra?"
"Iya, dia maksudku," ujarnya seraya mengangguk. "Boleh aku meminta nomor Terra padamu? Tadi aku lupa memintanya."
Hah?
Aku terbengong menatap wajahnya tanpa berkedip. Apa telingaku tidak salah mendengar? Aktar meminta nomor Terra? Untuk apa coba?
Tapi aku tidak akan menanyakan hal itu. Aku tidak mau dibilang cemburu, jadi kulempar saja ponsel milikku ke arahnya. "Ambil sendiri nomornya di kontak hp itu."
Setelah itu aku kembali fokus ke naskah. Begitu selesai menyimpan nomor, dia pun langsung mengembalikan ponselku. Ketika Aktar baru saja meletakkannya di atas meja, tiba-tiba muncul nama Niko di layar panggilanku.
Tanpa berlama-lama, aku langsung menjawabnya. Kedua bibirku tak berhenti tersenyum kala mengobrol dengan Niko, dan mungkin karena itu Aktar jadi terus memandangiku. Jujur, aku sedikit agak risih. Padahal aku sudah melototkan mata, sebagai isyarat padanya untuk tidak melihatku. Tapi dia menghiraukannya dan terus menatapku. Jadi kuputuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi seraya mengacungkan satu kepalan tinju kepadanya.
Awas kau!
*****
Tengah malam aku terbangun karena badanku terasa begitu panas, bahkan tenggorokanku pun kering seperti tidak minum berhari-hari. Aku membalikkan badan ke arah Aktar yang tertidur nyenyak.
"Aktar...." panggilku yang terdengar lemah. Dan dia masih tertidur. Kuangkat tangan kananku untuk menggoyang bahunya. "Aktar... Bangun." kali ini suaraku seperti sedang berbisik.
Ya Tuhan... Kenapa disaat seperti ini telinga Aktar mendadak tuli?
Aku putuskan mencoba bangkit dari posisi tidur, namun seketika aku mengerang sakit karena kepalaku terasa begitu berat sekali. Yang bisa aku lakukan hanyalah menangis sambil memanggil Aktar, berharap dia bangun. Setelah beberapa kali menggoyang bahunya, akhirnya dia membuka mata.
"Apa?" tanyanya dengan mata yang masih mengantuk.
Tenggorokanku benar-benar kering untuk menjawab pertanyaannya. Jadi kutarik satu tangan Aktar dan meletakkannya di keningku.
"Kau demam Bii?!" tanyanya setelah benar-benar bangun.
Kalau saja tenggorokanku ini tidak sakit, sudah pasti kubalas pertanyaannya dengan kalimat sarkas.
"Sebentar," serunya dengan bergegas keluar dari kamar. Tak berapa lama Aktar balik membawa baskom, handuk kecil, segelas air, dan termometer digital.
Mungkin Aktar tahu kalau aku sangat haus, jadi dia memberikanku minum air hangat lebih dulu. Tubuhku dipaksa bangun dan aku pasrah saja saat Aktar membuka baju tidurku yang sudah lembab.
"Kepalaku berdenyut," ucapku lemas dan hendak berbaring lagi.
"Tunggu dulu!" serunya kesal dan menarik tanganku agar tetap duduk. Lalu dia mengambil baju tidur yang lain dari dalam lemariku.
"Pusing," rengekku padanya sambil memukul kepalaku sendiri yang terasa sakit.
"Bentar, pakai baju dulu." Aktar terlihat susah payah memasangkan bajuku. Begitu selesai, dia membaringkanku sambil meletakkan ujung termometer di bagian ketiak, dan menyuruhku untuk mengapitnya dengan lenganku.
Setelah lima belas menit, Aktar mengambil termometer digital itu dan membaca hasilnya. "38,8 derajat celcius," ucapnya seraya memegang keningku.
"Mamak..." Aku menangis memanggil nama itu.
"Kita harus ke rumah sakit. Demammu terlalu tinggi."
"Nggak mau," tolakku dengan air mata berlinang. "Aku mau sama Mamak aja...."
"Kepalamu bisa tambah sakit, kalau kau nangis lagi."
Aku menurut dan berusaha untuk tidak menangis. Aku juga hanya diam saja saat Aktar mengompres kepalaku dengan handuk kecil.
"Kau lapar nggak?" tanyanya sambil menguap karena menahan ngantuk.
"Enggak."
"Kalau begitu tidurlah."
"Kalau pusing mana bisa bobok. Biasanya tunggu dipijat Mamak dulu baru aku tertidur."
"Aku coba pijat ala kadarnya aja ya?"
Aku mengangguk. Kemudian jari-jarinya mulai menekan kening dan pelipis kepalaku. "Pelan-pelan, jangan terlalu kuat," pintaku dengan mata terpejam berharap segera mengantuk.
"Seperti ini?" tanyanya dengan mengurangi tekanan pijatannya.
"Iya, kayak gitu."
"Apa Niko pernah memijat kepalamu?"
"Enggak. Tapi dia pernah memijat kakiku waktu kami lagi------"
"Tidurlah," potongnya cepat. Padahal aku belum selesai bercerita.
5-Desember-2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Not?
General FictionIni cerita absurd. Kalo nggak mau gila, jangan dibaca ya.