Tiga puluh sembilan.

23.7K 2.5K 113
                                        

"Arimbi, ayo bangun sayang. Sarapan dulu ya, ini Mama udah masakin bubur."

Kedua mataku terasa berat sekali, namun pelan-pelan kucoba membukanya. "Aktar ke mana Ma?" tanyaku pada Mama mertua ketika tidak melihat sosoknya pagi ini.

"Suami kamu udah pergi kerja. Dan tadi sebelum berangkat, dia bilang ke Mama kalau kamu lagi demam. Jadi minta Mama buat jagain kamu dulu."

Kerja terus hidupnya!

"Mau makan sendiri atau disuapin?"

"Sendiri aja Ma..." jawabku lemah. Lalu Mama membantuku bangun untuk posisi duduk. Meski rasa pusing di kepalaku sudah menghilang, tetapi panas di tubuhku masih tetap ada. Bahkan aku kesulitan menghirup udara karena hidungku benar-benar mampet pagi ini.

Mama mertuaku tersenyum melihatku memakan bubur ayam buatannya. Jujur, rasanya memang enak. Hanya saja di saat lagi sakit seperti ini, aku lebih ingin makan bubur buatan Mamaku sendiri.

"Habis ini kita ke rumah sakit ya, biar diperiksa Dokternya kamu sakit apa."

"Enggak usah Ma."

Mama menyentuh leher dan keningku. "Tapi kamu panas banget ini."

"Nanti juga sembuh kok."

"Habis makan, jangan lupa ini obat paracetamol-nya diminum."

"Minum obatnya nanti aja ya Ma. Perut Bimbii udah penuh, takutnya kalau minum sekarang malah jadi muntah."

"Yaudah kamu istirahat dulu. Tapi jangan lupa obatnya diminum," ujar Mama seraya membawa piring tempat bubur yang sudah kuhabiskan tadi. "Dan kalau satu jam lagi panas kamu belum juga turun, kita pokoknya harus ke Dokter."

Aku mengangguk. "Iya, Ma."

Setelah beliau keluar dan menutup pintu, aku langsung mencari keberadaan ponselku. Begitu mendapatkannya, aku segera menghubungi nomor Cecil.

"Halo, Cil?"

"Tumben nelpon, udah nggak ngambek lagi nih ceritanya?" ledeknya sambil tertawa.

"Aku butuh bantuan."

"Bantuan apa?"

"Kan gini, temanku ada yang hamil. Tapi dia tuh lagi demam sama pilek gitu. Kira-kira dia bisa minum obat paracetamol nggak ya?"

"Ya kalau untuk perempuan lagi hamil, obat parasetamol memang yang paling aman dibanding sama obat penurun demam yang lain Bii. Tapi ya teman kau harus konsultasi juga ke Dokternya, biar tahu berapa dosis yang bisa dia minum."

"Tapi dia nggak mau ke Dokter."

"Bilang ke dia, jangan sepele sama demam. Justru demam itu berbahaya buat Ibu hamil. Sepupuku pernah ada yang kayak gitu, dia lagi hamil 7 bulan terus demam dan dibiarin aja. Eh ternyata bayi dalam perutnya udah ninggal. Sekarang dia cuma bisa nyesal doang."

"Serius Cil?" tanyaku takut.

"Ya seriuslah. Apalagi kau bilang temanmu itu lagi flu juga kan? Virus flu bahaya loh Bii, itu bisa menginfeksi si janin dalam perut temanmu nanti."

"Kau Dokter nggak sih? Kok nakut-nakuti orang gitu."

"Lah aneh kau. Kan kau nanya, jadi aku jelasin."

"Jadi solusi buat temanku apa?"

"Ya teman kau suruh ke Dokter, ih oon kali lah jadi orang. Kalau bisa berobatnya ke Dokter kandungan, karena lebih tahu obat apa yang bisa dikonsumsi sama bumil. Lebih cepat, lebih baik perginya. Jangan sampai ada penyesalan di akhir kayak sepupu aku itu," jelasnya lagi.

Aku menghela napas panjang. "Yaudah lah. Makasih ya Cil untuk sarannya."

"Iyoolah."

Bukannya aku tidak mau diperiksa atau berobat ke Dokter, hanya saja aku takut keluarga ini tahu kalau aku sedang hamil. Tapi kalau aku tidak pergi, janin ini yang akan dalam keadaan berbahaya. Setelah berpikir panjang, akhirnya kuputuskan untuk menghubungi nomor Edgar.

"Halo?" Dia menjawab begitu cepat. Seolah dia sedang menunggu telepon dariku. "Apa janin itu baik-baik saja?"

"Aku nggak tahu apakah keadaan janin ini baik-baik aja atau enggak."

"Apa Aktar menyakitinya?!" tanyanya cemas.

"Dia belum tahu aku hamil."

"Lalu ada apa? Jangan membuatku berpikiran yang tidak-tidak."

"Aku lagi demam. Jadi aku butuh bantuanmu untuk mengantarkanku berobat ke dokter kandungan."

"Oke. Kamu tidak perlu khawatir, aku akan menjemputmu dalam waktu 5 menit. Ah tidak, maksudku 15 menit."

"Baiklah, aku tunggu." kataku mengakhiri telepon.

"Siapa yang akan kau tunggu?"

Roh dari dalam tubuhku hampir saja keluar, kala melihat Aktar tengah berdiri di depan pintu kamar dengan pakaian kerjanya. "Apa kau nggak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk? Aku hampir terkena serangan jantung karena dirimu!"

"Udah aku ketuk, kau aja yang nggak dengar," ujarnya seraya berjalan mendekati ranjang. Lalu dia menaruh telapak tangannya di keningku. "Masih panas. Kita ke rumah sakit ajalah."

Kuturunkan tangannya dari keningku. "Udah berapa lama kau berdiri di sana tadi?!"

"Kenapa mendadak kau punya tenaga untuk marah-marah begini?"

"Apa aja yang kau dengar tadi?!" tanyaku emosi.

"Aku hanya mendengar kalau kau akan menunggu seseorang, itu saja."

"Berani sumpah?"

"Aku nggak ngerti sumpah-sumpah itu apa. Yang jelas jawabanku itu jujur."

Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. "Kenapa kau udah pulang jam segini?"

"Aku tadi pergi cuma menghadiri rapat hotel. Begitu selesai, aku meminta izin pulang karena kau sakit."

Haduh gawat! Bagaimana ini? Aktar sudah pulang, sementara Edgar sedang di perjalanan menuju ke rumah ini.

"Aku tadi menghubungi Mamamu dan bilang kau lagi demam." Dia berjalan ke arah lemari pakaian.

"Terus Mamak bilang apa?" tanyaku menatapnya yang sedang berganti baju.

"Kau yakin ingin mendengarnya?"

"Ya." Aku mengangguk cepat.

Dia berbalik badan setelah memakai baju, lalu kembali berjalan ke arah tempat tidur. Sementara aku menunggu kalimat yang akan dia ucapkan.

Aktar duduk di sampingku dan menatapku serius. "Mamamu bilang... "

"Bilang apa?" tanyaku penasaran karena dia menggantung kalimatnya.

"Nggak ada bilang apa-apa sih, soalnya hp ku mati karena batrainya lowbet."

"Memang kimbek kau ya!" umpatku kesal dengan melempar bantal ke arah wajahnya.

"Haha." Dia tertawa puas.

Aku mendengus melihatnya, lalu turun dari ranjang dan berjalan ke dalam kamar mandi.

"Eh kau mau ngapain?" tanyanya setelah berhenti tertawa.

"Ya pipislah, kau mau nampung?!"

Dia tertawa lagi. Dan itu membuatku menatapnya dengan heran. Sepertinya Aktar ketempelan kuntilanak dalam perjalanan pulang tadi. Ini benar-benar horor. Aku mengedikkan kedua bahu dan segera masuk ke kamar mandi. Saat sedang pipis, aku mendengar suara ponselku yang berbunyi.

"Bii.. Ada yang telepon."

"Siapa?"

"Bucin Nutrijel."

Astaga... Edgar pasti sudah ada di depan rumah.

"Tunggu! Jangan diangkat!" teriakku dari dalam. Dengan terburu-buru aku memakai celana lagi.

6-Desember-2018

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang