Empat puluh enam.

25.4K 2.7K 624
                                        

Kehamilan ini benar-benar membuatku menjadi mudah lapar. Apalagi malam ini sedang gerimis, aku jadi ingin memakan sesuatu yang berkuah seperti bakso atau mie. Tapi aku malas untuk memasaknya, aku maunya dimasakin. Mama pasti sudah tidur nyenyak jadi lebih baik aku membangunkan pria yang tidur di sebelahku saja.

"Aktar!" Aku menggoyangkan bahunya. "Hey!"

Dia mengusap satu matanya sebelum melihatku. "Kenapa?"

"Aku lapar."

"Terus?"

"Aku mau makan mie pakai bakso."

"Yaudah sana masak di dapur. Kenapa bangunin aku?"

"Aku maunya kau yang masak."

Dia menatapku jengkel. "Kau jangan minta yang aneh-aneh lah. Aku itu nggak bisa masak."

"Ini bukan permintaanku tapi kemauan anakmu. Kalau orang awam bilangnya, lagi ngidam."

Aktar melirik jam yang menunjukkan pukul sebelas malam. "Aku belikan mie baksonya di luar aja ya?"

Aku bergeleng cepat. "Nggak mau. Aku maunya kau yang masak bukan beli di luar."

"Kau lagi ngerjain aku?"

"Yaudah kalau kau nggak mau masakin. Tapi nanti kau jangan nyesal kalau anak kita lahirnya jadi ngences-ngences. Kayak Chu Pat Kai gitu, air liurnya menetes ke mana-mana!" Kataku menakutinya.

Detik itu juga Aktar langsung bangkit dari tempat tidur sambil mengumpat kesal padaku. "Kau benar-benar bangsat, Arimbii!"

"Terima kasih loh untuk pujiannya," balasku tersenyum dan ikut berjalan keluar dari kamar bersamanya.

Sesampainya di dapur, aku hanya duduk manis dengan bermain ponsel. Sementara Aktar sibuk memotong bahan-bahan yang akan dimasak.

"Ini gimana nyalain kompornya coba?!" tanyanya dengan nada yang masih kesal.

"Tinggal diputar aja."

"Nggak bisa, dari tadi udah aku putar."

Aku mendesis dan terpaksa menghampirinya. Aku mencoba memutar kompor gasnya dan ternyata benar, tidak bisa menyala. Setelah aku cek ternyata penyebabnya adalah gas nya ang habis. Jadi aku langsung membuka tabung gas lama dan menyuruh Aktar untuk ambil tabung gas yang baru dari belakang pintu rumah.

Aku dan Aktar sama-sama tidak tahu cara memasang gas ke kompor. Maka dari itu terpaksa aku harus minta tolong Abangku untuk memasangkannya.

"Kau lah, suka kali ganggu orang lagi tidur aja!" gerutu Abangku.

"Baru sekali pun. Itu juga karena aku nggak beraninya masang gas ke kompornya. Jantungku suka deg-deg'an Bang, takut meledak loh. Mati nanti kayak mana coba?"

"Memangnya kalau laki-laki yang masang, terus pas gasnya meledak apa kau pikir kami nggak takut mati?"

"Maaf ya Bang... aku jadi nggak enak udah ngerepotin," ujar Aktar yang ikut bersuara. Dia terlihat merasa bersalah. "Jujur seumur hidup aku nggak pernah nyentuh kompor sama gas. Jadi benar-benar nggak ngerti cara pasangnya gimana. Makanya tadi Arimbi minta tolong ke Abang."

Abangku tertawa dan menepuk bahu Aktar. "Santai aja. Abang nggak marah samamu."

"Terus Abang marahnya ke siapa?" tanyaku was-was.

"Ke kau lah. Pakai ditanya lagi siapa!" sembur Abangku langsung.

"Kok aku?" tanyaku tak terima.

"Udah sih, diam aja. Ngejawab terus sama yang lebih tua!" Aktar menegurku.

Aku membalas Aktar dengan cibiran, lalu kembali duduk di kursi.

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang