《Tiga puluh satu》

33.5K 3.1K 169
                                        

"Baguslah kalau kau setuju kita berdua melakukan pembatalan pernikahan. Aku pikir kau akan bersikeras menolaknya, sehingga kita harus ribut dulu seperti biasa yang kita lakukan sehari-hari," ucapku jujur seraya melipat kedua tanganku di depan dada. Meski Aktar itu memiliki warna kulit putih yang bersih, tapi aku bisa melihat dengan jelas wajahnya pagi ini tampak sedikit pucat. Seperti orang anemia atau mungkin dia hanya kelelahan karena perjalanan ke sini.

"Kenapa kau berpikir seperti itu?" Tanyanya menatapku dengan satu alis terangkat ke atas.

"Kau kan berasal dari keluarga pebisnis. Biasanya pebisnis itu sangat menjaga baik nama besar keluarganya dari gosip-gosip jelek."

"Apa aku harus mengingatkanmu, bahwa kau sendiri yang ingin membatalkan pernikahan kita, karena kau merasa tidak bahagia denganku. Di sini aku hanya mengabulkan permintaanmu. Dulu sewaktu Papaku masih hidup, beliau pernah berpesan padaku jika aku menikah nanti. Maka sebagai seorang suami, aku harus selalu menjaga dan membahagiakan istriku agar rumah kami bisa terasa seperti di surga. Sebab jantung rumah adalah seorang istri. Jika hati istri tidak bahagia, maka seluruh seisi rumah juga tidak akan bahagia. Jadi aku tidak mau memaksamu untuk tetap bertahan hanya untuk menjaga nama baik keluargaku. Mungkin aku terlihat tidak peduli dengan orang-orang di sekitar, tapi aku tidak seegois yang kau pikirkan. Dan kau tidak perlu khawatir jika pembatalan pernikahan kita akan muncul di media masa. Aku bisa mengatasinya dengan sejumlah uang. Jadi itu bukan hal yang sulit."

Aku mengangguk pelan. "Lalu kenapa kau masih berdiri di sini? Apa yang kau tunggu?"

Tadinya Aktar ingin menjawab pertanyaanku. Tapi tidak jadi, karena satu tangannya dengan cepat menutup mulut dan segera berbalik badan. Spontan aku langsung menghampirinya. Raut wajah Aktar terlihat seperti menahan rasa mual.

"Hey, are you okay?"

Dia tidak menjawab. Dia hanya membungkukkan badan, mencoba untuk mengeluarkan sesuatu yang tertahan di dalam perutnya. Namun tidak ada satupun yang keluar dari sana. Aku meringis saat melihat wajah Aktar yang tampak begitu tersiksa. Aku rasa dia sedang masuk angin.

"Apa kau belum sarapan?" Tanyaku lagi seraya menggosok-gosok punggungnya. Meski aku tidak tahu apa faedahnya tanganku melakukan gerakan itu. Aku hanya tidak tega melihatnya kesakitan.

"Apa yang terjadi, Arimbi?" Tanya Niko yang muncul di belakangku.

Aku menoleh ke Niko. "Sepertinya dia masuk angin. Bisa tolong ambilkan air hangat untuknya?"

Niko mengangguk dan segera pergi ke dapur untuk mengambil minum. Lalu aku kembali menatap Aktar ketika dia menjauhkan tanganku dari punggungnya yang aku sentuh tadi. Setelah merasa tidak mual lagi, pria itu meneggakkan tubuh dan menatapku.

"Ayo, kita pulang ke rumah."

"Aku belum mau pulang. Kau duluan saja," tolakku tegas.

"Aku sudah memenuhi semua keinginanmu. Sekarang saatnya kau mengikuti keinginanku. Kita harus sama-sama pulang hari ini!"

"Tidak mau!"

"Kenapa?"

"Ya karena aku belum mau pulang. Lagipula aku yakin, Mamaku pasti udah menunggu untuk memarahi dan menyemburku habis-habisan di rumah. Aku belum mau mendengar semua omelannya."

Dia menatapku tajam. "Aku sudah terlalu sering banyak mengalah padamu. Jangan pikir kau bisa---," ucapannya tiba-tiba terputus karena dia langsung berbalik badan. Saat ini dia tengah memuntahkan semua cairan yang sedari tadi sulit dikeluarkan dari dalam mulutnya.

Niko datang di saat yang tepat dengan membawa segelas air hangat. Aku mengambil gelas itu dari tangan Niko dan segera memberikannya ke Aktar.

"Aku sudah memperingatkanmu. Jangan terlalu banyak makan buah semangka. Tapi kau tidak pernah mengindahkan omelanku. Apalagi kau sering memakannya tanpa makan nasi terlebih dahulu. Lihat sekarang, kau benar-benar masuk angin!"

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang