Aku tidak bisa mengelak lagi. Jadi aku terpaksa harus berkata jujur pada Aktar, bagaimana caranya aku bisa sampai berada di sini.
"Sebenarnya aku juga nggak sadar udah melakukannya. Tiba-tiba idenya terlintas begitu aja dalam kepalaku."
"Nggak usah pakai kata pengantar segala. Kasih tahu aku langsung, kayak mana ceritanya kau bisa ada di sini? Jangan-jangan kau cuma pura-pura keseleo biar bisa ngerjain aku kan?" Tuduhnya asal.
Aku melotot menatapnya. "Pura-pura kepala kau peyang! Yang benar ajalah kau kalau ngomong! Nggak kau lihat kaki aku udah bengkak kayak kaki gajah gini? Kucolok jugalah matamu nanti!"
"Ya buktinya kau bisa nongol di sini. Padahal sebelumnya kau menjerit-jerit nggak jelas karena kakimu disentuh dikit."
"Tadi itu aku ngesot dari kamar ke sini."
Bukan hanya Aktar yang melongo mendengar ucapanku, melainkan Edgar juga ikutan. Dan bibir mereka serentak membentuk huruf 'O'
Apa yang salah dari ucapanku? Nggak ada kan?
"Bii... kau sehat kan?" Tanya Aktar dengan wajah polos.
"Kau tengok kayak mana? Udah cepat kau gendong aku! Pakai sesi wawancara pula kau. Kakiku udah nyeri kali ini. Kau peganglah, biar kau percaya. Nggak bohong aku. Berdenyut-denyut dia kan?" Ujarku sambil menarik satu tangannya ke bagian kakiku yang diperban.
Bukannya simpati, si kue nastar malah menoyor kepalaku ke belakang. "Yaiyalah berdenyut, namanya juga nadi. Kalau nggak berdenyut, itu artinya kau udah mati."
Aku berniat membalaskan ucapan Aktar. Tapi aku batalkan karena tubuh mungilku langsung dia gendong cepat. Spontan aku mengalungkan kedua tangan di lehernya Aktar, karena takut tiba-tiba dia berubah pikiran dan menjatuhkanku ke lantai.
"Apa kau tengok-tengok? Cemburu? Mau digendong juga sama Aktar?" Tanyaku pada Edgar yang terlihat terbakar api cemburu.
"Apa yang harus aku cemburukan dari dirimu? Nggak ada."
Aku pura-pura tertawa. "Nggak cemburu tapi kepanasan lihat aku sama Aktar pergi ke pantai. Terus dengan sengajanya kau menyenggolku hingga keseleo kayak gini."
"Iya. Aku memang sengaja. Terus kau mau apa?" Tanyanya menantangku.
"Heh Agar-agar! Kau beruntung hari ini ya, kaki aku lagi keseleo. Kalau nggak? Hmm... udah habis kucakar-cakar muka kau yang nggak seberapa itu."
"Siapa yang kau panggil Agar-agar? Namaku Edgar. Dasar bodoh!"
"Agar-agar itu kan lembek, mirip kayak kau. Nama Edgar nggak cocok, kurang jantan untukmu. Iya aku memang bodoh. Itu makanya aku butuh suami yang pintar kayak Aktar untuk dampingi aku," Ujarku seraya memeletkan lidah padanya.
"Sejauh apa sih hubungan kalian berdua bisa bertahan tanpa saling cinta? Paling juga ujung-ujungnya cerai," Balasnya remeh.
"Haduh, hidup kau kurang jauh ya mainnya? Kau dengar cakapku ini. Hubungan itu nggak melulu soal cinta. Yang terpenting dalam hubungan adalah komitmennya untuk menjalani hidup bersama. Perkara cinta sama sayang, itu hanya melengkapi. Ngerti kau?" Aku tersenyum puas melihat wajah Edgar yang terdiam di tempat.
"Heh, Nastar! Kenapa malah diam? Ayo cepat kita balik ke kamar," Semburku pada Aktar yang tak bersalah.
Aktar menuruti perintahku, meskipun di pertengahan jalan dia mengumpat di telingaku. "Benar-benar manusia nggak tahu diri ya!"
Aku membalasnya dengan tersenyum lebar dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Dia wangi sekali. Kapan-kapan aku harus meminta parfumnya nanti.
Sesampainya di kamar, Aktar membaringkanku di atas ranjang. Sementara dia duduk di sofa dan menyalakan tv.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Not?
General FictionIni cerita absurd. Kalo nggak mau gila, jangan dibaca ya.