Lima puluh tiga.

21.6K 2.4K 243
                                    

Di tengah perjalanan, tiba-tiba saja Terra memutuskan tidak jadi singgah ke tempat praktek Cecil. Mendengar hal itu, refleks kepalaku menoleh ke belakang untuk menatapnya. Perlu diketahui, saat ini aku duduk di kursi depan bersama dengan Aktar yang menyetir. Sedangkan Terra duduk di kursi tengah dengan Mama mertuaku.

"Kenapa nggak jadi singgah?" tanyaku meminta jawaban.

"Aku mau temani kau ke Gramed, sekalian mau beli buku juga. Hehee..."

"Terus tas yang untuk dipinjam Cecil gimana?"

"Gampanglah, besok aku antar ke rumahnya aja."

"Ke Gramed mau beli novel juga?" kali ini Mama mertuaku yang bertanya ke Terra.

Dia bergeleng. "Mau beli buku masak, Tante."

"Emang bisa masak?"

Terra bergeleng lagi sambil menyengir. "Ini masih mau belajar masak maksudnya, Tante. Kan sebagai perempuan yang akan menjadi calon istri nantinya, harus bisa masak. Biar nggak cuma bisa dandan aja. Kata Mama saya, suami kita itu butuh empat sehat dan lima sempurna, bukan cuma bibir gincu yang merah merona."

"Wah, kamu calon istri yang baik ya. Beruntung banget laki-laki yang bisa memperistrikan kamu nantinya. Sayang sekali anak Tante cuma satu, kalau ada dua bakal Tante jodohin ke kamu."

Pujian dari Mama mertuaku kepada Terra itu jadi menimbulkan satu pertanyaan besar dalam pikiranku. Jika seandainya beliau bertemu Terra lebih dulu daripada aku, apakah Terra yang akan dijodohkan ke Aktar? Lalu mereka berdua menikah, kemudian Terra hamil dan menjadi menantu kesayangan Mama.

Memikirkan hal itu membuat perutku seketika mengencang. Aku meringis karena rasa nyeri dan tanpa sadar tangan kananku spontan mencengkram tangan kiri Aktar yang sedang mengemudi.

"Ada apa?" tanyanya menoleh. Karena aku tak kunjung menjawab, Aktar segera menepikan mobil.

"Kenapa sayang? Perutmu sakit?" tanya Mama dari belakang.

"Iya, Ma. Tiba-tiba aja perutku kram, sakit banget."

"Tadi juga aku bilang apa? Kau nggak usah ikut, tapi kau ngeyel dibilangin!" bentak Aktar yang terlihat kesal sekaligus khawatir. Khawatir kalau terjadi sesuatu yang buruk dengan anaknya bukan khawatir pada keadaanku.

Aku tidak bisa membalas perkataannya, karena pikiranku buntu saat ini. Rasa sakit di perutku lebih menyita perhatian dan konsentrasiku.

"Sudah, jangan memarahinya di saat seperti ini," kata Mama mertuaku seraya memegang kulit perutku yang masih mengencang dan mengelusnya secara bolak-balik. "Kamu sudah ada minum air putih tidak dari tadi?" tanya beliau.

"Udah, Ma. Tapi nggak banyak."

"Orang lagi hamil itu harus banyak konsumsi cairan, sayang. Biar kamu sama dedek bayinya tidak dehidrasi." ingatkan Mama padaku. Kemudian beliau menatap Aktar. "Kamu ada bawa minuman di mobil?"

"Habis, Ma. Tapi di depan itu kayaknya ada mini market. Kita beli di sana aja," jawabnya dengan kembali menjalankan mobil.

"Kebetulan tadi aku beli air putih, minum punyaku aja dulu Bii." Terra mengambil botol minumannya dari dalam tas.

"Makasih ya Raa," kataku sambil menerima pemberiannya. Lalu botol air itu aku sodorkan ke Aktar. Dia melirikku dan botol air secara bergantian.

"Apa?" tanyanya sambil menyetir.

"Bukain."

"Itu kan segelnya udah kebuka, Bii. Tinggal diputar aja. Tadi aku udah aku minum sedikit airnya," seru Terra dari belakang.

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang