Tiga puluh empat.

27.5K 2.6K 246
                                        

Malam ini aku memilih untuk tidur di kamar tamu, karena aku sedang tidak ingin melihat wajah Aktar. Gara-gara dia, aku jadi berpisah dari Niko. Dan karena dia juga, Mama jadi menamparku. Semua orang menyalahkan dan menyudutkanku. Tidak ada satu pun yang mau mengerti dengan perasaanku, termasuk Mamaku sendiri. Aku seperti ini bukan karena tanpa alasan. Justru seharusnya aku yang marah karena hidupku seperti dipermainkan. Seandainya aku bisa tahu lebih cepat alasan kenapa dulu Niko memutuskan hubungan kami, aku tidak akan pernah mau menikah dengan Aktar. Tapi waktu tidak bisa diputar lagi, jadi yang bisa aku lakukan adalah mengakhiri semua drama ini.

Tok.. Tok... Tok

Suara ketukan di depan pintu kamar cukup membuatku terkejut. "Siapa?" tanyaku kesal.

"Ini Bi Nana," sahut salah satu asisten rumah tangga di keluarga ini.

"Ya kenapa?"

"Tuan Aktar sudah menunggu di ruang makan."

"Terus?"

"Nyonya tidak ikut makan?"

"Suruh makan duluan aja, nggak usah nungguin aku."

"Apa Nyonya lagi diet?"

"Enggak!"

"Lalu kenapa Nyonya tidak makan?"

"Ya pokoknya aku nggak mau makan. Titik. Jangan ditanya lagi!" jawabku ketus.

"Tapi tadi Tuan Aktar pulangnya membawa buah durian. Kalau tidak salah, itu kan buah kesukaan Nyonya. Apa Nyonya tidak mau turun ke bawah untuk memakannya?"

"Bi Nana tuli ya? Tadi kan aku udah bilang enggak makan! Bi Nana aja sana yang habisin duriannya. Udah ah, jangan ganggu lagi. Aku mau mandi," usirku seraya mengambil handuk.

"Baik Nyonya."

Kuhembuskan napas panjang begitu dia pergi. Namun, baru saja aku akan melangkahkan kaki di dalam kamar mandi, tiba-tiba terdengar lagi suara ketukan di pintu kamar.

Tok... Tok... Tok

"Ada apa lagi sih Bi Nana?!" teriakku jengkel.

"Ini aku."

Spontan aku mendengus begitu mengetahui Aktar sedang berdiri di depan pintu itu. Dia mau apa sih datang ke sini? Apa dia tidak tahu, kalau aku sedang tidak ingin melihatnya?

Kututup telinga dengan kedua tanganku, ketika dia memanggil namaku berulang kali. Karena aku memang berniat tidak ingin menyahut. "Arimbi... Aku tahu kau tidak tuli."

Enggak dengar... Enggak dengar.

"Kau masih marah?"

Udah tahu, kenapa masih tanya!

"Setidaknya bicara apa yang ingin kau marahkan, aku tidak bisa menebak isi dari pikiranmu."

"Jangan ganggu aku, udah pergi sana!" balasku yang akhirnya membuka suara.

"Aku harus pergi kemana? Apa kau lupa, ini rumahku."

Aku berdecak kesal. "Maksudku kau pergi dari depan pintu kamar itu. Aku lagi malas melihat wajah ataupun mendengar suaramu. Jadi pergilah!"

"Apa ini karena tamparan Mamamu tadi siang, jadi kau melampiaskannya kepadaku?"

"Semuanya karena kau. Saat ini aku benar-benar marah dan benci. Jadi jangan mengangguku!"

Suasana mendadak jadi hening. Sepertinya Aktar sudah pergi setelah mendengar kata-kataku tadi. Baguslah kalau dia sadar.

"Jadi apa yang kau inginkan?"

Why Not?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang