Aku belum sempat menjawab pertanyaan dari ponakanku itu, tapi dia sudah berlari dan keluar kamar.
"Opungggggg!" teriak Ral yang menghampiri Mama di dapur.
Aku mengikuti Ral dari belakang dan membiarkannya mengadu kepada Mama tentang kehamilan ini. Lagipila aku sudah berjanji ke Niko untuk tidak menutupi keberadaan janin yang ada di dalam perutku lagi.
"Abang kenapa panggil Opung?" tanya Mama tanpa melihat Ral karena sibuk memnersihkan lantai dapur.
"Ada dedek bayi di dalam perut Bou!"
Aktivitas Mama seketika berhenti dan langsung berbalik badan memandangku. "Kau hamil?!" tanya Mama memastikan.
"Iya, Bimbii hamil."
Sapu yang ada di tangan Mama langsung jatuh tergeletak di lantai. Dan kini kedua tangan Mama tengah memegang bahuku. "Serius kau lagi hamil? Nggak lagi ngerjain Mamak kan?"
"Seriuslah, Mak." Aku menarik tangan kanan Mama dan meletakkannya di atas perutku. "Cucu Mamak udah berusia 8 minggu."
Mama tersenyum dan memandangku dengan kedua mata yang berbinar "Ya ampun Bii, Mamak nggak nyangka kali kau bakal cepat hamil. Nggak kayak Abang sama Kakakmu, orang itu butuh tahunan dulu baru bisa dapatkan anak, tapi kau cuma hitungan empat bulan udah langsung isi."
Aku juga tidak menyangka akan hamil secepat ini. Karena Aktar biasanya memakai pengaman sebelum kami berhubungan intim. Tapi kalau aku ingat-ingat lagi, sepertinya dia pernah tidak pakai kondom. Pada waktu malam pertama dan saat berada di rumah Opung. Dua kejadian tersebut karena kecerobohan diriku sendiri yang membiarkan Aktar mengeluarkannya di dalamku.
"Jadi Mamak udah nggak marah lagi kan?" tanyaku was-was.
"Sini peluk Mamak," ujar Mama merentangkan kedua tangannya.
Aku langsung memeluk Mama. Dan seperti biasanya, aku pasti menangis. "Maafin perkataan Bimbii kemarin ya, Mak."
"Iya... udahlah jangan nangis. Makin pilek kau nanti." Mama menghapus air mataku yang jatuh menetes.
"Kemarin-kemarin itu Bimbii cuma ungkapin uneg-uneg di hati aja, bukan mau jadi anak yang durhaka."
"Mamak juga minta maaf karena udah kasar kali ke kau. Mamak itu cuma nggak mau kau nanti terjebak suatu masalah. Karena Mamak pasti langsung khawatir kalau terjadi sesuatu samamu."
"Tapi kemarin Mamak udah tampar Bimbii."
"Habisnya Mama ngerasa jengkel aja lihat tingkahmu itu. Dari tiga anak Mamak, tapi cuma kau lah yang paling sulit diatur sama diarahkan. Mamak akui, Mamak ini memang egois, keras kepala, terus paling dominan mengatur hidup anak-anaknya. Tapi Mamak ngelakuin itu karena sayangnya Mamak ke kalian. Sebisa mungkin Mamak mau kalian dapatkan pasangan yang terbaik. Mamak nggak mau kalian salah pilih hanya karena modal cinta doang. Kau kira bayar air, listrik, sekolah anak dan lain-lain bisa bayar pakai cinta kalau udah nikah? Enggak anakku. Mamak memang bukan Tuhan yang tahu nasib seseorang ke depannya gimana, tapi perasaan Mamak bilang kau itu nggak akan cocok sama Niko. Hidup keluarga dia itu keras, apalagi dia punya tiga Adik perempuan yang harus dibiayai kebutuhannya. Perempuan yang cocok dampingi Niko itu haruslah punya pemikiran yang dewasa, yang bisa menguatkan dia saat lagi terpuruk. Terus harus mandiri juga dan yang pasti nggak cengeng kayak kau ini. Karena yang dicari Niko itu pendamping hidup bukan Adik perempuan lagi."
"Kalau Niko butuh perempuan yang kayak gitu, tapi kenapa Bimbii yang dipilih jadi pacarnya? Padahal di luar sana, ada banyak perempuan dewasa yang dekat sama dia."
"Itu karena Niko belum sadar sepenuhnya, kalau perempuan yang dia cari dan butuhkan itu bukan kau!"
"Memangnya sifat Bimbii sebegitu jelek ya, sampai nggak layak buat dampingi Niko?" tanyaku dengan nada pelan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Why Not?
General FictionIni cerita absurd. Kalo nggak mau gila, jangan dibaca ya.