Namaku Emerald. Panggil aja Rald.
Aku paling benci angka sebelas. Aku tidak suka sepak bola karena pemainnya sebelas orang dan karena mereka dinamai kesebelasan. Sudah setahun tidak nonton tv karena satu-satunya acara race MotoGP favoritku ada di channel nomor 11. Ogah keluar rumah setiap tanggal 11, dan gagal beli apapun yang harganya sebelas ribu rupiah. Dan otomatis, aku tidak pernah repot-repot mengerjakan soal dalam ujian, tes, dan lomba apapun yang bernomor 11. Aku bahkan rela tes IQ dua kali karena hasilnya menunjukkan angka 155.
1+5+5=11.
Waktu kecil Ayah bilang kalau pada dasarnya manusia punya hati yang baik. Mereka diciptakan dengan hati yang bersih. Aku membayangkan segumpal hati berbentuk mirip kacang merah besar. Penuh pembuluh darah dan terbungkus gumpalan lemak menjijikkan. Waktu mulai masuk sekolah, aku tanya Ayah kenapa teman-temanku tidak pernah tahu berapa jumlah sapi yang kami lewati di jalan meskipun mereka melihatnya, dan berapa huruf A yang ada di lagu Indonesia Raya meskipun mereka hafal liriknya. Ayah cuma bilang kalau aku pintar.
"Raaald, kupasin timun yang kecil dua trus dipotong-potong trus taruh di piring yang bunga-bunga, ya," pinta Bu Safir sambil sibuk menggoreng telur mata sapi di tangan kanan dan mengaduk sayur di tangan kiri. Celemek motif kotak-kotak di pinggangnya melindungi seragam batik sekolah dari cipratan minyak.
"Berapa senti?" aku menyambar pisau.
"Ya dikira-kira, dong."
"Kira-kiranya tuh berapa senti?"
Tangan Bu Safir berhenti mengaduk. "Segini berapa senti?" tanyanya sambil bikin celah dengan telunjuk dan ibu jari.
"Satu koma enam."
"Terserah," katanya kembali ke kompor. "Ara, coba cicipin sayurnya."
Ara mendekat ke kompor. Setelah mencicipi kuah tumis bayam, dia mengambil toples garam dan menaburkan sedikit ke masakan.
Ara dan Bu Safir adalah tetanggaku. Setahun lalu waktu aku baru pindah ke Surabaya, Bu Safir menawarkan rumah bersih dan murah tepat di sebelah kanan rumahnya. Jadilah ahirnya aku didaftarkan ke sekolah tempat Bu Safir mengajar, yang dispoiler Ara sebagai SMA terfavorit se-Surabaya.
Setiap pagi dan malam, aku dan kadang juga Ayah, makan sama-sama di rumah Bu Safir. Ayah mana sempat masak? Apalagi masakanku sumpah ga enak! Males punya pembantu soalnya kebutuhanku dan Ayah tidak banyak. Jadi buat lebih gampangnya, Ayah titip uang belanja bulanan ke Bu Safir sekalian memasrahkan urusan masak-memasak. Kami berempat sudah mirip keluarga yang lengkap. Dan inilah rutinitasku setiap pagi; bantu Bu Safir masak kilat sebelum berangkat sekolah.
"Kamu tinggian, ya?" tanya Ara sambil menyiapkan meja makan. Aku lewat sambil ambil piring berisi irisan timun 1,6 centi.
"Gini-gini aja dari kemaren," jawabku.
"Kayanya udah 180, deh."
"Kemaren aja masih 177. Mana ada nambah 3 senti sebulan?"
"Rald, panggilin Ayah, gih, udah mateng," pinta Bu Safir.
"Mama tau nggak, keren-keren gitu Si Rald diputusin sama Sekar," tawa Ara waktu aku meninggalkan ruang makan. Kuabaikan saja sindiran Ara yang makin pudar dari telinga.
"Lho, emang mereka pacaran?"
"Yah, Mama yang update dong gosip sekolah."
Aku keluar pakai sendal jepit melintasi halaman berumput rumah Bu Safir ke halaman rumahku. Aku melongok ke dalam buat teriak keras-keras, "Yaaah, udah mateng!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi