"Coba kamu fokus ke pangkal hidung saya," pinta Pak Radit.
Pulang sekolah setelah suasana sepi, aku memulai terapi pertamaku dengan Pak Radit. Kami duduk bersila di pendopo depan ruang guru, saling berhadapan.
Aku berusaha memfokuskan mata ke pangkal hidung Pak Radit. Hanya ke hidung Pak Radit, tanpa melihat hal lain. Tapi lapangan basket di belakang kepala Pak Radit tetap terlihat. Aku tidak bisa mengabaikan bercak pada tiang kayu di dekatnya, plastik kosong yang bergerak-gerak tertiup angin, jumlah tanaman di pot, serangga, guguran daun dan detail ruas-ruas tulang daunnya.
"Rald," panggil Pak Radit. "Fokus!"
Aku menarik napas sambil menutup kelopak mata.
"Fokus ke pangkal hidung saya!" tunjuk jari Pak Radit di antara kedua alisnya. Aku kembali berusaha melihat ke bagian itu untuk membatasi sebanyak mungkin pemandangan yang kulihat. Tapi tak sampai satu detik, mataku mulai menelusuri tekstur kulit di dahi Pak Radit. Ujung rambut, dagu, tulang pipi, garis hidung, lengkungan alis, bulu mata, irisnya yang berwarna coklat terang, puncak telinga Pak Radit, gagang kacamata...
"Rald."
Kukerjapkan mataku untuk kembali fokus ke mata Pak Radit.
"Mata kamu masih gerak kemana-mana."
"Emang bisa mata cuma lihat ke satu titik?" keluhku.
"Normalnya orang cuma bisa lihat ke satu titik waktu lagi fokus," jawab Pak Radit.
"Mata saya sakit. Kayak dipaksa jadi juling."
"Sekali lagi!"
Aku mendongak protes sambil menarik napas lelah. Sudah sepuluh menit Pak Radit menyuruhku fokus berkali-kali.
"Ayo. Ini yang terahir."
Aku menopang wajah dengan jari menutupi mata. Kuhela napas sekali lagi, lalu memperbaiki dudukku ke posisi tegak.
"Sekarang coba kamu tutup mata," pinta Pak Radit. Aku menurut. "Apa yang bisa kamu dengar?"
Angin. Delapan kilometer per jam. Empat daun kering di lantai lapangan bergerak-gerak sedikit, dan tujuh yang lain diam. Ada belalang yang sedang memakan daun di pot belakang lenganku. Bunyi mulutnya sedang melubangi pinggiran daun dengan cepat. Rayap, sayap capung, gerakan kaki laba-laba, ranting pohon yang hampir jatuh...
"Coba kamu fokus ke satu bunyi," kata Pak Radit. "Yang mana aja, yang paling kamu suka."
Dahiku berkerut sedikit, berusaha fokus.
"Bisa?"
Aku menggeleng.
"Fokus, Rald."
Aku menarik napas dengan sangat pelan, tenang, untuk berkonsentrasi mengabaikan sebanyak mungkin bunyi. Tapi semuanya tetap masuk ke telingaku bersamaan. Kuangkat tangan untuk menutupi telinga karena bunyi di sekitarku makin bertambah.
"Saya belum minta kamu bergerak," kata Pak Radit. " Ayo coba lagi."
Aku merobohkan punggung ke lantai. Mana bisa telinga memilih satu bunyi kalau bunyi-bunyi lain tidak mau berhenti?
"Pusing?"
Aku mengangguk. Apa Pak Radit memberikan terapi yang sama pada anak di dalam videonya?
"Tadi malem saya browsing soal Mark Tresh," kataku. "Saya nggak tahu kalo dia orang terkenal."
Pak Radit tersenyum mengetahui aku tertarik pada pasiennya. "Sekarang Mark memang sudah lebih mampu menyesuaikan diri sama lingkungan. Umurnya sudah 19 tahun. Dulu Mark lebih parah dari kamu. Dia nggak mau keluar rumah, nggak sekolah, dan nggak mau dibawa ke rumah sakit waktu kecelakaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi