Pak Radit Membawa tenda super keren. Tenda itu cuma perlu dipompa seperti balon karet untuk membuat kerangka elastisnya berdiri kokoh dalam hitungan detik. Bagian dalamnya sangat luas, terdiri dari satu ruang tamu dan empat kamar yang masing-masing muat diisi dua orang. Sementara yang lain kegirangan memasuki tenda, Alan membuntuti Rani yang mau buang sampah.
"Eh, pst!" Yoga kasih kode. Aku dan Steven yang tanggap langsung menyelinap keluar. Kami bertiga mengendap-endap sambil menahan diri digigiti nyamuk semak-semak demi menguping gerakan rahasia Alan.
"Berat, ya? Mau dibantuin?" Alan menjajari langkah Rani untuk membawakan salah satu kantong sampah. "Mau dibuang kemana?"
"Di sana aja."
Alan senyum-senyum karena bisa jalan berduaan dengan Rani.
"Geser, geser," kami tim pengintip berjalan jongkok di belakang gerombolan rumput gajah. Siapa peduli nanti malam bakal susah tidur kena gatal-gatal. Jarang-jarang kan ada kesempatan jadi saksi dalam adegan penembakan berencana.
"Rani suka gunung apa pantai?" Alan mulai modus.
"Mm... Dua-duanya suka," jawab Rani. "Tapi kalo gunungnya ada sungainya, ada danaunya juga, jadi lebih suka."
"Oh... Suka yang komplit, ya?"
"Anjir bego si Alan! Ga guna amat gombalannya," gumam Yoga hilang kesabaran. Alan dan Rani berhenti berjalan setelah membuang kantong sampah.
"Misal nih, ya," kata Alan. "Ada pantai yang baguuus banget. Kaya yang di Prancis gitu misalnya. Ada tebingnya. Pokoknya bikin semua orang terpesona deh sekali lihat. Trus satunya lagi cuma gunung biasa kaya di sini. Ga populer-populer amat. Orang tahu aja enggak. Tapi tuh gunung ada sungainya, ada danaunya, ada aer terjunnya, trus banyaaak banget taneman sayurnya. Bunga juga gede-gede gitu kalo ditanem di sana. Rani lebih suka mana?"
Rani mikir. "Mm... Lebih suka gunungnya."
"Yess!!" Alan loncat sampai Rani kaget.
"Maksudnya?" tanya Rani gagal paham.
"Misal, ya. Aku bisa jadi kayak gunung yang komplit tadi. Rani bisa gak, jadi suka sama aku kalo kita udah lebih deket?"
Rani mematung, kelihatan kaget. Dia agak salah tingkah, tapi lebih terlihat ingin kabur. Ekspresi wajah Rani melukai perasaan Alan.
"...Ga bisa, ya?" tanya Alan berusaha tetap terdengar santai. "Ya... gapapa, sih. Cuman mo bilang gitu doang."
Steven dan Yoga memukul jidat.
Melihat Rani yang merasa bersalah, Alan jadi lebih merasa bersalah. Alan berusaha mencari topik pembicaraan.
"Rani suka ya sama Rald?" tanya Alan. Tenggorokanku seperti terhantam batu bata. Rani cuma menunduk diam.
"Ya wajar, sih. Siapa juga yang ga bakal suka sama Rald," ujar Alan. Rani tidak bisa berkata-kata. Yoga dan Steven cuma berani melirikku diam-diam.
"Aku sebenernya juga udah tau dari dulu," kata Alan lagi. "Cuman gimana gitu kalo ga bilang terus terang ke kamu. Soalnya aku suka banget sama kamu. Paling nggak kan sekarang kamu ga bakal ngira aku aneh kalo ngelihatin kamu mulu di kelas. Pengen aja kasih tau kalo aku juga udah suka dari kelas satu."
Tidak disangka Rani hampir tertawa. "Iya kamu kaya orang aneh. Kirain kenapa ngelihatin mulu."
Alan kelihatan lega setelah Rani menjadi agak santai.
"Ya udah, balik dulu ya," Alan berbalik untuk kembali ke tenda.
"Alan dodol!!" bisik Yoga habis kesabaran. "Bilang apa, kek. Masa gitu doang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi