Aku terbatuk-batuk. Efek obat tidur masih membuat kelopak mataku terlalu berat untuk dibuka. Tapi rasa sesak yang mencekik membuatku bangun. Aku kaget mendapati kegelapan total ketika membuka mata.
Kegelapan membuatku panik. Kutarik napas dalam-dalam, berusaha membayangkan pantai gelap yang luas. Aku harus tahu udara di sekitarku tidak pernah hilang meskipun tak bisa kurasakan. Keringat dingin membuat tangan dan tengkukku basah. Aku bernapas dalam, tapi terbatuk lagi oleh bau debu dan tanah yang pekat. Aku bergerak, berusaha meraih apa saja yang bisa kupakai untuk menutupi hidung.
DUK! Sikuku terbentur sebelum bisa bergerak kemana pun. Waktu akan meraba apa yang membenturku, punggung tanganku membentur logam dingin sebelum bisa bergerak. Kurapatkan mataku untuk menangkan diri. Kusadari bahwa aku sedang terbaring di ruangan yang sangat sempit, seperti peti mati.
"Kak!" panggilku keras-keras. Aku memukul langit-langit untuk membuat bunyi, tapi rontokan tanah menimpa mukaku dan masuk ke mata. "KAK!"
Aku terbatuk-batuk lebih parah.
DUK DUK DUK! "Kak! Buka!"
Bunyi teriakanku teredam. Aku terbatuk-batuk sampai tidak bisa berteriak lagi. Ini bukan halusinasi bahwa udara di sekitarku memang menipis. Aku ingat pernah berada di dalam sini, dulu sekali. Bau besinya pun masih sama, meskipun sekarang berbau karat dan menjadi lebih sempit.
"Kak," panggilku tercekik di tengah batuk. Aku ingat sekarang. Waktu itu aku menangis ketakutan di dalam sini. Ini adalah sebuah lemari, yang selalu berdiri di depan gudang peralatan berkebun Ayah.
Batukku menjadi pelan dan panjang, menguras habis napasku sampai lidahku terjulur keluar karena dorongan kuat dari dalam. Aku kehabisan tenaga. Seperti waktu itu, waktu aku memanggil-manggil Kakak sambil memohon. Aku ingat, itu adalah pertama kalinya aku mempelajari fungsi dari kata maaf. Aku menjerit minta maaf karena sudah menangis terlalu keras, dan akan berjanji jempol-kelingking untuk diam meskipun susunya tidak enak. Tapi tidak peduli seberapa keras aku menangis, Kakak tidak membukakan pintu lemari. Dia menjatuhkan tanah seperti hujan batu ke atas lemari sampai baunya membuatku tercekik. Tapi Kakak tidak membukakan pintu lemarinya untukku. Pintu di atasku tetap terkunci meski aku sekarat, dan berpikir bahwa mungkin Bunda tidak akan pernah pulang karena tak ada yang mengangkatnya dari liang lahat.
҉
"Langsung ke ruangan saya aja kalo udah stabil."
"Makasih, Dokter. Nanti saya hubungi," jawab suara Kak Garnet, disusul bunyi pintu yang ditutup. Aku terbatuk-batuk sambil membuka mata. Kak Garnet buru-buru mengambil air dan membantuku duduk. "Minum dulu!"
Aku cepat menguasai diri karena oksigen menyembur kencang dari selang di hidungku. Kuminum air dari gelas di tangan kanan Kakak, sementara tangan kirinya mengusap-usap punggungku untuk meredakan rasa sakit akibat guncangan batuk. Aku bernapas lebih baik setelah minum.
Kupalingkan kepalaku sedikit. Wajah Kak Garnet sangat dekat, balas menatapku dengan hawatir. Spontan aku bangkit dengan gerakan cepat dan menyerangnya hingga roboh ke lantai. Kak Garnet jatuh telentang dengan ubun-ubunnya membentur keras kaki sofa. Tangan kiriku meremas kerah bajunya, sementara pisau buah yang kusambar dari meja kuangkat tinggi-tinggi untuk menikamnya tepat di wajah.
Pisau itu berhenti di udara.
"Breathe," katanya sabar.
Aku kembali merasa sesak karena selang oksigen dan infus lepas dari tubuhku. Darah mengalir seperti benang ke lenganku dari bekas lubang infus.
"Breathe..." lirihnya menenangkanku. Pisau meluncur jatuh dari jariku yang lemas, ujungnya membentur lantai di sisi telinga Kakak.
Mataku berair oleh kemarahan yang tak terkendali. Aku mencekiknya sekuat yang kubisa, berharap tulang lehernya remuk. Mata Kak Garnet terpejam rapat karena rasa sakit. Wajahnya memerah dan terus menggelap karena aliran darah ke kepalanya terhenti.
Kedua tangannya meremas lengan jaket di atas pergelangan tanganku. Bukan untuk menyingkirkan tanganku dari lehernya. Dia hanya sedang berpegangan padaku.
Mataku tergenangi air dan menes-netes deras ke dahinya. Kuhirup napas lebih dalam untuk mengatasi sesak, sambil menguatkan cengkraman karena tenagaku melemah. Otot kaki Kak Garnet mengeras. Untuk apa dia berusaha sekeras itu untuk tidak berteriak waktu sedang kesakitan?
Aku memungut pisau untuk membulatkan tekad melukainya. Tapi tanganku hanya gemetar, melawan otakku untuk membuatnya bergerak. Kutikamkan pisau ke bawah kuat-kuat hingga merobek sofa. Aku meraung sambil menusuk-nusuk sofa di atas kepala Kak Garnet sampai spons yang tercabik-cabik menyembul keluar dari kulit sofa.
BRAK BRAK BRAK BRAK! Suara gedoran panik dari luar. "Bisa buka pintunya?"
Ternyata pintu kamar ini terkunci. Kak Garnet sengaja menguncinya dari dalam agar tidak ada siapapun yang menghalangiku untuk melakukan apapun padanya.
"Breathe, Rald," bisiknya di bawah daguku. Pisauku macet terhimpit kayu di dasar sofa, tidak bisa ditarik meskipun aku meraung sekuat tenaga. Orang-orang yang berusaha membuka pintu mulai mendobrak.
"Breathe," pandunya lirih. "Pelan-pelan aja."
Peganganku melemah. Jari-jariku lepas dari pegangan pisau karena dadaku bertambah sesak.
"Nggak apa-apa," Kakak menarik belakang leherku untuk menyandarkan dahiku ke dahinya. "Kakak nggak akan ganggu kamu sama Ayah lagi. Kakak cuma merasa ini kurang benar membiarkan kamu terus-terusan dibohongi. Kamu mau maafin Kakak atau benci selamanya, sekarang tugas Kakak udah selesai. Kakak udah bisa lanjutin hidup tanpa beban."
Aku cuma bisa meraung pelan dengan energi yang masih tersisa. Kubiarkan airmata berjatuhan sambil mencengkram kerah bajunya.
Orang yang paling kusukai di seluruh dunia. Yang tetap kusayangi meski aku melupakannya. Bagaimana bisa, seenaknya dia tega membuatku membencinya? Aku mau dia menghilang tanpa pernah kembali selamanya.
҉
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi