Boston

376 53 1
                                    

Aku terbangun mendengar celoteh para penumpang pesawat. Dua jam yang lalu semua orang masih tidur pulas. Aku mengintip ke luar jendela. Masih malam. Awan putih yang mengambang di sekitar sayap pesawat tidak terlihat kecuali ada cahaya petir yang kadang-kadang menyambar di kejauhan. Di bawah lapisan awan yang berlubang-lubang, dataran Massachusetts tampak seperti lempengan yang berpijar. Pesawat terbang lebih rendah, menembus gumpalan awan sehingga pandangan ke daratan di bawah tampak lebih jelas.

Pijaran cahaya pulaunya jadi terlihat lebih kasar, mirip lautan kunang-kunang. Aku bisa melihat garis patai dan pola lampu kota yang berkelompok-kelompok persis seperti peta satelit dalam ukuran raksasa. Daratan terang di tepi laut terbelah oleh pertemuan tiga garis gelap yang sangat tebal. Itulah Cambridge dan Boston, rumah dari dua universitas terbaik dunia. Dua kota ini dipisahkan oleh sebuah sungai besar bernama Charles river. Jembatan-jembatan panjang penuh lampu di atasnya menghubungkan kedua kota.

Lautan kunang-kunang itu pelan-pelan berubah menjadi kumpulan gedung. Jendelaku semakin sejajar dengan puncak-puncak gedung di kejauhan, dan bergetar waktu roda pesawat membentur aspal landasan. Aku menahan rasa tidak nyaman telingaku, seperti efek menyelam terlalu cepat ke dalam air. Pesawat yang turun dalam hitungan menit dari ketinggian menyakiti telingaku dengan perubahan tekanan udara yang terlalu cepat. Lampu-lampu bandara yang menerangi sepanjang landasan bergerak seperti kilat waktu pesawat melewatinya.

Bulan Agustus adalah awal musim gugur. Udara belum dingin karena musim panas baru saja lewat. Meski begitu tengah malam begini di belahan utara bumi rasanya dingin juga untuk ukuran mahluk ekuator sepertiku. Kurapatkan jaket sebelum turun dari tangga pesawat, lalu menyalakan hape. Suhunya 16°C.

Bandara Boston sepi dan lengang menjelang subuh. Aku naik taxi yang menunggu penumpang di depan bandara. Tanpa banyak tanya sopir taksinya langsung menodongku dengan, "Harvard or MIT?"

"Baker House, please," jawabku mengangkat koper ke bagasi.

"Over-night flight?" tanya Pak Sopir.

"Twenty two hours on board."

"Freshman, I bet," senyumnya. "Welcome to Massachusetts."

Asrama yang kutuju hanya berjarak dua belas menit dari bandara. Aku mendongak pada gedung tujuh lantai yang dibangun dari bata merah. Bentuknya mirip huruf W raksasa yang sangat panjang. Lampu dari dalam kamar-kamarnya padam, tapi gedung masih terang benderang karena penerangan di sisi luar. Bata yang menyusun dinding tidak semuanya rata, tapi sengaja dibuat meliuk di beberapa tempat dan beberapa lain dijejali batu-batu hitam. Rasa kantukku hilang melihat bangunan artistik yang menjulang di depan mataku. Bentuknya lebih mirip hotel bergaya retro daripada asrama kampus.

Kutarik koperku untuk melapor ke satpam. Didepan pos satpam sudah ada calon mahasiswa lain yang menyebutkan identitasnya.

"Haneda Seiru JH02," katanya menyebutkan nomor ID penerima kunci kamar untuk dicatat satpam. "No, no, please write Haneda as the surename."

Langkahku terhenti di belakangnya. Anak lelaki itu menoleh padaku. Kami tampak seusia meskipun dia dua tahun lebih tua. Gerakan matanya khas, meskipun tidak seliar Mark Tresh yang kulihat dalam video. Meski tak ada kata yang keluar, aku tahu, kami saling mengenali meski pertama kali bertemu.

҉

Perkuliahan di MIT dimulai pada minggu terahir bulan Agustus. Udara jadi jauh lebih sejuk, dan dingin di malam hari. Tapi mungkin karena badanku sudah agak terbiasa, aku nyaman-nyaman saja pakai kaos dan kemeja kemana-mana seperti orang-orang sekitar.

Waktu kubilang kuliah, sebenarnya tidak ada materi perkuliahan yang kuterima di dalam kelas. Dosen-dosen MIT tidak datang ke kelas untuk mengajar. Setiap hari mahasiswa cuma diberi pertanyaan sederhana, bukan tentang definisi suatu istilah kedokteran atau teknik-teknik pengobatan, tapi pertanyaan-pertanyaan yang lebih bersifat umum dan selalu diawali dengan How dan Why. Dari sinilah mahasiswa dituntut untuk memberikan jawaban yang punya dasar teori, karena secerdas apapun jawabannya akan dianggap ngawur tanpa adanya dasar teori.

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang