Perginya Seorang Teman

366 54 6
                                    

Aku baru menyadari sedang dirawat di rumah sakit swasta. Pantas saja semalaman tidak ada perawat yang menyebut-nyebut nama Ayah. Hari berikutnya Ayah memindahkanku ke rumah sakit umum tempatnya bekerja, meskipun letak rumah sakit swasta ini cuma dua ratus meter dari rumah sakit umum.

Aku mendapat ijin pulang setelah seminggu dirawat, dengan syarat bed rest selama sebulan. Padahal aku sudah siap dimarahi habis-habisan oleh Ayah, tapi Ayah justru tidak bilang apa-apa. Tetap sibuk di rumah sakit seperti biasa.

"Tadi Pak Radit titip pesen," kata Alan sambil membukakanku segel tutup selai coklat. "Katanya suruh kasih tau Rald kalo Panthera udah bisa diselametin dari kurungan. Sekarang udah dipindahin ke pusat rehabilitasi kabupaten sebelah."

"Oh," gumamku masa bodoh.

"Serius ga mau jenguk?"

"Ngapain?"

"Ya dijenguk, kek. Namanya juga temen."

"Males," jawabku sambil membuka tutup susu kedele.

"Ya aku bukannya ga paham kamu sama Panthera rada gimana gitu hubungannya," kata Alan. "Tapi dia kan ga punya temen, Rald. Bayangin coba gimana rasanya dibuang ke tempat rehab sendirian ga ada yang peduli."

"Kalo emang segitunya kamu pengen akrab sama si Panthera terserah, ga usah ngajak-ngajak!"

"Rald," Alan menaruh botol selai ke meja. "Nyadar gak kalo dari sekian mahluk di sekolah, cuma kita sama Pak Radit aja yang pernah ngomong sama Panthera. Bu Safir aja dikacangin. Ya meskipun kamu ngajak ngomongnya waktu berantem doang."

Aku pura-pura tuli.

"Inget gak dulu Mita sama Rani sempet musuhan gara-gara lukisan? Waktu awal-awal kelas satu. Trus waktu Mita ahirnya tau kalo lukisan Rani bagus banget, dia dengan innocent-nya nyamperin Rani ke perpus, muji-muji lukisan Rani yang emang bagus banget. Inget kan waktu itu guru-guru udah nyerah maksa-maksa Rani buat ga ngundurin diri dari lomba lukis? Ara yang akrab aja ga ngefek dukungannya ke Rani. Tapi waktu Mita yang harusnya jelek-jelekin lukisan Rani malah kasih pujian tulus, anehnya Rani malah jadi punya energi lagi buat balik ke ekskul lukis."

Bukan berarti Panthera bisa sepolos Rani.

"Ngaku aja kalo kamu sebenernya kepikiran Panthera," kata Alan. "Normal, Rald. Namanya juga kenal. Banyak kan yang musuhan waktu masih sekolah tapi bisa punya hubungan baik waktu udah dewasa. Musuhan tuh cepetan diberesin biar ga jadi penyakit. Ngendap ke hati sampe udah terlalu basi buat disembuhin."

Kupandangi merk susu kedele di tanganku sambil memikirkan kata-kata Alan. Memang agak konyol selama ini aku memusuhi Panthera, padahal Alan tidak pernah mendendam padanya.

"Besok Ayah nggak pulang sampe pagi," kataku. "Kita jenguk pake motor aja."

"Siyap!" bisik Alan yang langsung on diajak bolos sekolah.

Malam berikutnya aku menyiapkan jaket dan isi tas untuk dibawa. Setelah tidur beberapa jam, aku bangun pukul tiga pagi tanpa membuat suara ribut.

Kupasang jaket dan menyandang ransel sambil berjalan ke perempatan kompleks. Di sana sudah ada Alan yang menunggu dengan motor dan dua helm. Kami harus pergi sebelum orang-orang bangun untuk bisa bolos sekolah, ditambah pertimbangan keuntungan dalam menghindari macet.

Alan memboncengku dengan kecepatan 80 km/jam. Kepalaku masih sakit waktu roda motor jatuh ke lubang jalan. Jalan raya pada jam ini sepi sekali, jadi laju motor bisa mulus tanpa hambatan. Cuma ada beberapa kendaraan besar yang lewat.

"Tar pulang sorean aja biar ga kena razia polisi," teriak Alan melawan bunyi angin.

"Terserah."

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang