Musim paling jelek terjadi di bulan November. Daun warna-warni menjadi kering dan rontok, sehingga pohon-pohon yang mulanya cantik jadi gundul. Satu-dua pohon masih berwarna merah, tapi sebagian besar sudah coklat kalaupun masih ada daunnya. Suhu turun drastis. Gaya stylish para pejalan kaki ala musim gugur sudah hilang, digantikan jaket super tebal dan winter coat yang dililiti syal warna gelap.
Kemarin lusa Om Irshad meneleponku. Hari ini adalah ulang tahun Om, jadi aku diundang datang ke rumahnya. Bukan untuk pesta, katanya, cuma makan bareng sekeluarga. Paling-paling cuma sebentar. Habis makan aku bisa langsung pamit pulang.
Aku terpaksa jalan kaki karena rantai Yallow rusak. Langkahku berhenti waktu butiran yang seperti kapas jatuh pelan-pelan dari langit. Salju kecil-kecil itu jatuh ke aspal dan menghilang, menyisakan jejak bulat yang lembap. Aku mendongak. Butiran ini tidak sendirian. Beberapa yang lain mengambang ringan di udara, seperti hujan yang turun sangat lambat.
Sepinya jalan raya pada jam ini membuatku sadar kalau salju tidak turun dengan berisik. Mereka jatuh diam-diam, menutupi tanah dan aspal dalam keheningan. Meskipun saljunya tidak lebat, lama kelamaan warna putihnya melapisi aspal seperti taburan bedak. Kurontokkan salju dari bahu dan rambutku karena tiba-tiba sudah dingin menumpuk. Aku lanjut jalan menyusuri Longfellow.
Ramalan cuaca memprediksi kalau salju akan turun lebat pagi ini. Mungkin yang dimaksud pagi adalah sekitar jam 9an, karena sekarang mendadak salju berhenti. Tapi awan hitam yang super tebal di atas Boston agak bikin was-was. Mungkin langit bisa tiba-tiba muntah es atau blizzard. Sepertinya aku harus tinggal setahun dulu di sini untuk mempelajari tanda-tanda perubahan cuacanya.
Orang-orang berteriak kaget waktu es kecil-kecil berdiameter 1 cm mendadak rontok dari langit. Aku berhenti berjalan untuk mendongak. Awan hitam yang sedang bergerak di atas sepertinya siap muntah lagi.
Butiran es jatuh lagi. Kali ini jatuh terus bercampur dengan air bersuhu beku. Aku lari secepat mungkin sambil melindungi kepala dengan ransel. Tapi rambutku yang sudah terlanjur basah membuat kulit kepala dan telingaku mati rasa karena kedinginan. Untung Backbay tidak jauh dari Longfellow. Aku langsung belok ke Marlborough Street dan masuk ke pagar rumah Om Irshad sambil memencet bel.
Kak Garnet yang memuka pintu. Dia senyum dengan tangan yang anehnya sudah membawa handuk. "Masuk?"
Aku masuk dan melepas jaket untuk ditaruh ke gantungan dinding di belakang pintu. Di bawah gantungan itu ada rak sepatu, panjangnya pas dengan sekotak lantai yang 15cm lebih rendah dari lantai ruang tamu. Rak itu memuat beberapa sepatu pria dewasa dengan dua ukuran yang berbeda. Lainnya adalah beberapa sepatu wanita yang ukurannya sama semua, mungkin milik istri Om Irshad. Itu saja. Rupanya Om Irshad tidak punya anak. Tapi ada satu sepatu wanita yang ukurannya berbeda.
Aku berjongkok untuk melepas tali sepatuku yang basah. Kak Garnet menutup pintu di belakangku. Dia lalu berjongkok di pinggiran lantai yang lebih tinggi, menghadap padaku.
"Lain kali jangan lupa bawa payung meskipun cuma salju," ujarnya sambil mengeringkan rambutku dengan handuk. "Hail di sini suka jatuh dadakan."
Aku diam saja membiarkan handuk Kak Garnet mengusap-usap kepalaku. Kulepas tali dan sepatuku yang kotor tanpa berusaha mempercepatnya.
"Zelin masak tumis cattail di dalem," katanya. "Rasanya enak banget lo kalo dia yang masak."
Aku mencium harum khas minyak kelapa yang dipakai untuk menumis daging dan bawang.
"Agak mirip masakan Bunda, kalo kamu masih bisa ingat," tambahnya. Kuambil handuk Kak Garnet dari kepalaku sehingga gerakan tangannya berhenti.
"Ayo masuk," ajaknya. "Ada tempura dandelion juga ambil dari rumah kaca di pusat penelitian. Zelin yang ambilin waktu Kakak bilang kamu suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi