Ershad Guzal

352 51 0
                                    

Aku bersin-bersin lima kali sampai hidung jadi meler. Neil dan Herbert sudah berangkat kuliah. Tadi sayup-sayup kedengaran Seiru menjemputku di depan pintu, tapi langsung tahu kalau aku kurang niat berangkat kuliah. Repot juga sakit di asrama karena jam segini Baker House seperti gedung mati tanpa penghuni. Tidak ada yang bisa dititipi obat karena semuanya pulang nanti sore. Malas juga keluar karena tanggal segini sudah dingin sekali udaranya.

Aku makan sisa pizza di kasur sambil meliliti diri dengan selimut. Pintu kamarku diketuk. Kulawan rasa jengkel campur pusing untuk menurunkan kaki ke lantai yang dinginnya seperti papan es. Aku membuka pintu sambil pamer ekspresi ekstra malas yang disengaja.

"Yeah?"

"You've got a guest," jawab satpam penjaga asrama. Dahiku berkerut. Memangnya siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?

Aku cuci muka di wastafel lalu gosok gigi. Kupakai jaket tebalku untuk melawan demam dan udara dingin. Waktu menuruni tangga ke hall asrama di lantai dasar, seorang pria berusia 48 tahunan berdiri dengan aura berwibawa yang kuat. Ketika dia menoleh karena kedatanganku, kulihat wajah Ershad Guzal yang fotonya terpampang di textbook teori Psikologi Kedokteran. Dialah orang yang mengadopsi Kakak tiga belas tahun yang lalu; informan research yang membawa Kak Garnet padaku.

"Om," sapaku canggung. Rasanya aneh, tapi sepertinya aku harus memanggilnya begitu.

"Bagus juga prediksi Om kalo kamu bakalan bolos," katanya dengan logat Bahasa Indonesia tulen meskipun wajahnya sangat Timur-Tengah. "Mau jalan-jalan? Ada potato-cheese di Longfellow buat sarapan."

Aku terpaksa menyanggupinya. Akan jadi tidak enak kalau aku menolak. Meskipun kurang enak badan, aku terpaksa ikut karena beliau sudah menyempatkan waktu menemuiku di tengah kesibukan. Aku juga punya banyak pertanyaan, meskipun tidak tahu bagaimana harus memulai interaksiku dengannya.

Kami beli kentang-keju, lalu berjalan sambil ngobrol basa-basi menuju ke tengah Longfellow Bridge. Angin musim gugur yang bertambah dingin membuatku mati-matian menahan untuk tidak bersin. Trotoarnya ramai dilewati mahasiswa yang berjalan terburu-buru, atau pejalan kaki yang duduk-duduk di kursi. Setelah ketemu satu kursi kosong, aku dan Om Irshad duduk bersebelahan menghadap ke sungai.

"Mirip di movie aja pemandangannya," kataku waktu ada bangau terbang muter-muter di atas sungai. Sayapnya yang putih-lebar kelihatan keren berlatar langit biru dan permukaan Charles yang berwarna abu-abu.

Om tertawa. "Di Uzbekistan juga banyak pemandangan bagus. Kapan-kapan mampir aja ikut Om kalo lagi libur."

Aku bersandar ke punggung kursi sambil menghabiskan kentang. Hangatnya yang pas meredakan pilekku. Om Irshad makan pelan-pelan. Sambil mengunyah dia menoleh untuk memperhatikan mukaku.

"Udah ketemu Zelin?" Om tersenyum ramah. Aku membalasnya dengan senyum yang agak dipaksakan.

Beberapa saat kami cuma diam memangdang sungai. Sosok Om Irshad di masa kecil tidak bisa kuingat. Tapi tanpa pernah kuduga, orang itu sudah ada di sampingku sekarang.

"Rald marah ya sama Kakak?" tanyanya tiba-tiba. "Benci?"

"Saya ga enak badan, Om," aku bangkit tanpa menyembunyikan rasa tidak senang mendengar pertanyaannya. "Mau istirahat dulu."

"Om juga sengaja bolos ngajar hari ini," katanya. "Mau dengerin Om cerita?"

Aku menarik napas enggan. Om Irshad senyum, tahu benar kalau di saat begini orang sepertiku sudah mau roboh tembok antipatinya. Aku kembali duduk dengan muka malas.

"Satu-satunya kesulitan Om merawat Garnet," katanya. "Dia percaya kalau dialah yang bersalah dalam semua situasi buruk yang kebetulan dia alami. Kamu lahir dalam kondisi normal. Tapi mental kamu jadi terganggu sejak hari kamu dikeluarkan dari dalam lemari. Kamu bisa inget Kakak apain lemarinya?"

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang