Pak Radit

1K 130 17
                                    

"Saya akan mengajar mulai hari Senin. Tapi karena ada jam kosong hari ini, saya akan mengunjungi kelas kamu untuk memperkenalkan diri," kata Pak Radit dengan suara rendah yang ngebas maksimal meskipun diucapkan lirih dan santai. Jarang-jarang aku ketemu orang yang bisa bikin orang lain menaruh rasa hormat cuma dari suaranya. Tapi aroma napasnyalah yang mengusik perhatianku. Berbau obat-obatan psikiatrik menahun yang dirusak cairan lambung, mirip pasien-pasien depresif akut.

"Pak Radit ini lagi penelitian buat desertasi," kata Pak Kepsek. "Jadi Pak Radit bakal ngajar di kelas-kelas aksel buat berinteraksi sama subjek penelitiannya. Muda-muda gini udah calon Ph.D. lulusan Harvard, loh. Keren nggak, Rald?"

Pujian yang membuatku tercengang itu diresponnya dengan senyum ringan seolah sudah terbiasa.

"Penelitian tentang apa?" tanyaku mendadak kepo.

"Abnormalitas pada remaja ber-IQ di atas 150," jawab Pak Radit. Alisku berkerut. IQ 150 adalah standard jenius yang diakui dunia. Tapi bukannya di Surabaya cuma aku yang sampai 150an? Bahkan belum tentu ada di setiap negara.

TEEET! Bel masuk berbunyi. Aku mencium tangan Pak Kepsek untuk pamit, dan memberikan anggukan formalitas pada Pak Radit. Guru dari Harvard? Cool!

Aku ambil jalan memutar melewati kelas-kelas reguler untuk mampir ke toilet. Ada banyak toilet di sekolah, tapi cuma satu yang baunya bisa ditoleransi. Karena letaknya jauh di ujung tembok sekolah bagian belakang, toilet ini jarang dipakai oleh kebanyakan siswa.

Suasana sekolah sudah sepi waktu aku sampai ke toilet tujuan. Waktu masuk ke salah satu bilik toilet, ada suara aneh dari belakang tembok. Aku cepat-cepat mencuci tangan karena penasaran, lalu pergi ke belakang toilet untuk menemukan sumber suara. Di antara dinding belakang toilet dan tembok sekolah yang tinggi, ada tiga murid laki-laki sedang menendangi murid lain yang meringkuk di atas tanah.

Mereka memergokiku. "Apa?!" bentak salah satunya.

"Ngapain?" tanyaku sambil buka bungkus permen nano-nano.

"Ga usah sok ikut campur, ya!" kata yang lain.

Kuperhatikan Panthera, teman sekelasku, yang tetap meringkuk melindungi kepalanya seperti pengecut.

"Nggak," jawabku. "Terusin aja."

Mereka bertiga tertawa. Waktu kutinggalkan, salah satunya bilang, "Kasian banget ini anak ga becus temenan sama manusia. Temen sekelas aja ngacangin dia!"

Aku bisa mendengar sepatu mereka lanjut menendangi tulang Panthera. Kuemut permen sambil membuang bungkusnya ke tempat sampah, lalu lanjut jalan kembali ke kelas.

Kuketuk pintu kelas begitu sampai. Di dalam sudah ada guru baru di hadapan delapan belas teman sekelasku yang bermuka suram.

"Fisika itu mudah," ceramah beliau sambil memberiku isyarat untuk masuk. "Begitu tahu rumus mana yang harus dipakai, soal seperti apa pun pasti bisa diselesaikan."

Aku sampai ke bangku. Alan menguap di belakang kursiku.

"Sekarang coba buka halaman enam," pinta beliau, dan kami menurut. "Coba, siapa yang bisa ngerjakan nomor sebelas?"

Steven ketua kelas kami mengangkat tangan. Sepertinya dia berinisiatif maju cuma untuk menghargai guru baru.

"Yak, coba kerjakan di papan!"

Steven maju ke papan tulis untuk mengerjakan soal tersebut dengan delapan baris notasi hitung yang rapi dan sistematis.

"Bagus. Rumusnya benar, jawabannya juga benar," puji beliau. "Sekarang coba yang ini," ujar beliau sambil membuka tutup spidol. "Ini soal olimpiade Fisika tingkat nasional, ya. Jadi coba yang teliti ngerjakannya."

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang