Symptom

851 100 11
                                    

"Rani!" sapa Alan yang tiba-tiba berjongkok di sebelah Rani. Alis kirinya diplester. "Lagi ngapain?"

"Baca Astronomi," jawab Rani sambil senyum. "Minggu depan ada lomba."

"Mau dibantuin?" modus Alan pedekate. Rani menggeleng.

"Kuu-noo!" cibir mulutku dan Yoga tanpa suara.

"Be-lom-a-pa-apa!!" balas Alan. "Ma-u..."

Alan mendadak bungkam karena Rani memergokinya komat-kamit. Dia cengengesan sambil melipir ke dekat Ara.

Alan suka Rani sejak kelas satu. Dia adalah satu-satunya teman sekelas kami yang pakai kerudung. Sebenarnya Rani sangat manis, kulitnya bersih, matanya cantik dan punya lesung pipi. Tapi Alan kesulitan pedekate karena Rani terlalu pendiam sehingga sulit didekati.

"Yang ini diapain?" Alan menunjuk sinus 2x dengan pensil. Kami sedang belajar rame-rame di teras rumah Ara sambil makan rujak buah buatan Bu Safir. Liza pacar Steven juga gabung meskipun bukan teman sekelas.

"Pindahin aja ke kiri," jawabku.

"Busset ga kepikiran."

"Trus yang ini gimana?" tanya Mita.

"Natriumnya direaksiin dulu sama aseton," kataku sambil tengkurap di lantai sejajar dengan Mita dan Alan mirip tiga anak kadal. Yoga yang tidak mengerjakan apa-apa sedang semangat menghabiskan rujak. Meski begitu nilai-nilainya selalu di atas delapan sampai guru-guru heran. Padahal pelajaran di kelas aksel, baik kecepatan maupun jumlahnya, bikin anak-anak pintar dari kelas reguler geleng-geleng kepala.

Meskipun peringkat dua selalu diduduki oleh Panthera yang ber-IQ 147, semua warga sekolah tahu bahwa Yoga lebih superior. Si malas ini punya jenis kecerdasan alami yang tidak bisa diukur dengan tes IQ. Yoga malas ikut lomba-lomba sains yang rempong dan membosankan. Dia lebih semangat ikut kompetisi yang seru-seru seperti musik dan lomba debat nasional. Selama dua tahun berturut-turut, Yoga dipercaya menjadi kapten sekaligus setter tim volly sekolah; pemain kunci berstrategi cerdik yang membawa piala bergilir tahunan. Dia akan menjadi atlet nasional yang unggul kalau orang tuanya tidak bersi keras mendaftarkannya ke Fakultas Hukum.

Mita mencoret-coret bukunya mengikuti petunjukku.

"Dibagi sama yang sisi kanan," panduku setelah dia selesai. "Nah sekarang jadi apa? Asam, kan? Titrasiin aja."

"Coy," kaki Yoga menyodok telapak kakiku. "Jalan-jalan, napa? Serius mulu."

"Ke mall, Yuuuk," ajak Liza benar-benar stress. "Susah amat sih Kimia kelas dua."

"Yah, kok ke mall, sih?" protes Mita.

"Trus kemana? Taman Bungkul? Bosen, tau!"

"Ya udah cewek-cewek aja, sana!"

"Rame-rame, dong! Liburan kemaren kan kita gagal hang-out bareng."

"Hang-out gimana, kalian pada ikutan olimpiade gitu. Bete!" keluh Mita. "Rald, pinjem mobil, dong."

"Bilang aja sendiri," suruhku karena mengira tidak akan ada yang berani ngomong ke Ayah. Bilang 'Halo Om' saja mereka takut lihat muka batu Ayah.

"Ra, pinjemin mobil dong," pinta Mita. "Ya, pleaseee..."

"Pleaseee..." rengek Liza ikut-ikutan.

"Nggak janji boleh, ya," jawab Ara sambil beranjak.

"Yess!" seru Liza yang bebas dari rumus kimia. "Rani ikutan, ya."

Rani senyum sambil menutup buku Astronominya.

Ara berjalan ke rumahku untuk menemui Ayah yang kebetulan ada di rumah. Biasanya jarang-jarang Ayah pulang sebelum jam makan malam, karena dokter bedah di rumah sakit rujukan memang banyak kerjaannya. Teman-teman langsung girang waktu Ara berhasil membawakan kunci mobil Ayah. Kami berdelapan berdesak-desakan ke dalam mobil. Aku duduk di sebelah Steven yang pegang kemudi, satu-satunya di antara kami yang bisa nyetir.

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang