Dulu daerah ini punya lebih banyak pohon-pohon besar. Beberapa masih ada sekarang, tapi pohon jambu air raksasa yang paling kuingat sudah ditebang. Sebuah rumah minimalis bercat putih menggantikan tempatnya. Suasana di sekitar rumahku tidak banyak berubah. Hanya saja rumah-rumahnya direnovasi menjadi lebih modern, dan ada tiga rumah baru di lahan yang dulunya adalah pekarangan sayur luas.
Langkahku berhenti di depan rumah tua yang tampak kosong. Pagar temboknya yang setinggi perut punya bekas-bekas lumut. Halamannya yang dulu penuh dengan bunga, sekarang cuma diisi rumput lusuh yang kurang terawat. Aku mengenali pohon kiwi tua yang tumbuh menjalar ke atap teras. Sulurnya yang sebesar tangan melilit kemana-mana. Dulu pohon itu banyak ulatnya sampai Ayah harus berkali-kali menyemprotkan obat setelah pulang dari puskesmas. Tepat di sebelahnya, sebuah pohon apel yang asing sedang berbunga. Mungkin dulu salah satu keluarga yang pernah tinggal di rumah ini menanamnya.
"Masuk?" ajak Kakak. Aku mengikutinya melewati plang putih berkaki besi yang menghadap ke jalan. Dulu di plang itu tertulis dr. Tirta S. Brennan Sp.B., tapi Kak Garnet sudah menggantinya dengan dr. R. Garnet Md.
"Ada pasien?" tanyaku, masih merasa aneh untuk memanggilnya Kakak. Itu karena bagaimanapun aku melihat, yang tampak di depanku adalah sosok Pak Radit. Jadi untuk sementara, lebih aman pakai kalimat tanpa predikat dan subjek.
"Cuma tetangga sekitar sini," jawabnya tanpa rasa canggung. "Kadang-kadang orang puskesmas juga mampir buat minta tolong atau bagi-bagi panenan sayur."
Aku diam saja menunggunya membuka kunci pintu. Rasanya tidak nyaman karena justru aku sendiri yang jadi canggung. Mungkin karena meskipun ini seperti pertama kalinya untukku, Kak Garnet sudah lebih dulu terbiasa bicara padaku sejak tujuh bulan yang lalu.
Aku mengikutinya masuk ke dalam rumah. Sesaat aku sempat berharap untuk melihat foto-foto keluarga kami yang dulu digantung memenuhi dinding. Setelah berada di dalam, aku kecewa melihat betapa kosongnya rumah ini. Tidak ada apa-apa di ruang tamu dan ruang tengah. Cuma lantai dan dinding kosong, yang menyentakku dengan perasaan terasing.
Aku berhenti di depan sebuah kamar berjendela lebar. Dulu di sana ada dua tempat tidur yang berdampingan di kedua sisi tembok. Satu yang kecil punyaku, dan yang lebih panjang milik Kakak. Dulu aku suka sekali menyelinap ke bawah selimutnya malam-malam karena kedinginan. Aku suka menaruh kepala di atas perut Kakak karena rasanya hangat. Aku tahu pemandangan itu sudah sangat lama, dan normal saja kalau sudah hilang. Tapi tetap saja, melihatnya kosong seperti ini menegaskan bahwa rumah kami yang nyaman memang sudah hilang.
"Mau teh?" suara Kak Garnet memantul dari arah dapur. Kukeringkan mataku sambil cepat-cepat menyusul ke belakang.
"Wah, tehnya habis," gumamnya, lalu senyum. "Wait!"
Aku mengikutinya berjalan keluar dari pintu belakang. Udara sejuk dari luar menyentuh kulit waktu kulangkahkan kaki ke teras belakang. Wangi chamomile yang sedang berbunga bercampur dengan bau rumput liar. Lahan pekarangan ini dipenuhi pohon wortel, pakcoy hijau dan merah, selada, ditambah sedikit asparagus mungil yang mencuat dari tanah. Pohon tomat merambati bagian sebelah kiri pagar bambu yang mengitari pekarangan. Beberapa pot seledri dari botol plastik bekas digantung di tiang teras, sementara bawang peray dan bunga krisan kuning ditanam pada pot-pot di bawahnya.
"Tiara bilang belakangan kamu sering insomnia," kata Kakak sambil memetik kuntum chamomile, lalu mencucinya di bawah air kran.
"Ara?" ulangku agak terbata. "Telfon?"
"Facebook," jawabnya. Sialan! Sejak kapan mereka jadi curhat-curhatan online?
"Kemarin lusa dia juga bilang kalau kamu sakit," katanya membawa bunga-bunga itu masuk, lalu menarik mundur satu kursi dari meja makan. "Ayo duduk dulu. Harusnya kamu istirahat habis perjalanan jauh."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi