Panthera

842 108 7
                                    


Jam pelajaran kedua, pelajaran Olahraga.

"Kak Rald mana, ya?" bisik segerombolan anak kelas satu. Cewek-cewek itu sibuk mengintip lapangan basket dari balik pojokan koridor, sampai tidak tahu aku sedang minum di dinding sebelah kanan pojokan.

"Ga masuk, kali."

"Masuk, kok. Tadi kita lihat dia masuk ruang Kepsek kan, Cit?"

"Iya bener. Duh pengen lihat Kak Rald pake kaos olahraga."

"Emang secakep itu, ya?"

"Iyalah! Cakepan pake kaos daripada pake seragam."

"Foto, yuk!"

"Ayuk yuk yuk," suara kasak-kusuk mereka makin heboh. "Bakalan banyak yang ngelike tuh di facebook."

"Heh," kulongokkan kepala ke balik pojokan. Mereka kaget sampai hapenya loncat dari tangan. "Motret orang tuh pake etika. Dilaporin ke Polres baru tau rasa!"

Mulut mereka cuma bergerak kaku tanpa keluar suara.

"Awas kalo sampe ada foto ga jelas nyebar di medsos," ancamku, lalu memotret muka mereka. "Kalian yang pertama bakal kena!"

Kutinggalkan mereka untuk kembali ke lapangan. Aku duduk di bawah ring basket sambil menunggu Pak Ishak datang.

"Coy! Si Panthera kenapa, ya?" bisik Mita melihat Panthera lewat dengan muka memar-memar.

"Berantem, kali," timpal Yoga tidak begitu peduli. "Dibully."

"Serius?" Mitha melotot. "Siapa yang ngebully?"

"Anak kelas 3D," jawabku meskipun kurang tertarik dengan obrolan mereka. Panthera absen pada jam pertama karena tahu cuma guru-guru baru yang mengisi pelajaran. Meskipun beberapa teman sekelasku pendiam parah, tidak ada di antara mereka yang benar-benar antisosial macam Panthera.

"Ga heran sih dia dibully. Ga punya temen gitu," cibir Mita.

"Salah sendiri, lah, ga pernah mau ngumpul-ngumpul," Yoga menimpali. "Sok eksklusif main sama buku mulu."

Panthera memang salah satu murid paling berprestasi. IQ-nya tinggi dan sering menang lomba akademik. Tapi dia tidak pernah ikut lomba-lomba tim, dan tidak mau masuk dalam kerja kelompok di kelas kecuali dipaksa guru. Apalagi ngobrol dengan kami.

"Gosipin aja teruuus," seru Alan keras-keras. Dia yang dari tadi duduk di pinggir lapangan sambil memain-mainkan kodok ternyata juga nyambung. "Gitu-gitu temen kita juga, tuh!"

"Wajar, lah," kata Yoga. "Emang dianya aja yang menarik buat digosipin."

"Bener tuh, Ga! Kalo ga mau digosipin ya jangan mencolok," dukung Mita. "Anak kelas tiga mana yang bully dia?"

"Riski 3D sama temen-temennya," jawabku.

"Kok kamu tahu, Rald?"

"Kebetulan lihat aja waktu dia dikeroyok di belakang toilet."

"Serius? Kok ga dilaporin ke guru? Nggak kamu belain?"

"Percuma juga belain pengecut," jawabku acuh. "Tar juga rela dibully lagi."

"Pst!" desis Alan sambil melotot. Kami bertiga menoleh ke arah yang ditunjuk kepala Alan. Panthera berjalan menghampiri kami dari pinggir lapangan. Aku sempat curiga kalau matanya menancap ke mukaku. Ternyata firasatku benar. Dia menghentikan sepatunya tepat di depan ujung kakiku.

Panthera meludahiku.

"Buset!" Alan kaget.

"Sampah!" maki Panthera lirih tapi tajam. Matanya seperti psikopat yang gagal memutilasi korban. Alisku berkerut jijik melirik ludah yang mendarat di pundak kaos olahragaku, yang tadinya diarahkan tepat ke mataku kalau saja aku telat menghindar.

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang