"What time?" Seiru terbangun karena bunyi alarmnya sendiri. Ahir-ahir ini kami sering ke perpus malam-malam bawa selimut. Sejak berkenalan di aula Harvard, aku dan Seiru lebih sering menghabiskan waktu bersama daripada berinteraksi dengan teman sejurusan. Dia ambil jurusan dual degree Teknik Mesin dan Sains Terapan. Dan karena kami punya banyak kebiasaan yang sama, obrolan kami nyambung apapun topik pembahasannya.
Di luar dugaan, watak Seiru sangat berbeda dari image luarnya. Waktu orang di depannya sedang bicara, dia suka mendadak tertawa sendiri sampai kadang dicap tidak sopan. Tapi detik berikutnya dia nyelonong pergi dengan muka datar tanpa penjelasan. Anak-anak Baker House yang selantai dengan Seiru tampak sudah terbiasa meskipun masih sering geleng-geleng. Tidak ada yang menggunjing atau membullynya karena kecerdasannya mencengangkan. Kami mengaguminya.
Tidak seperti Harvard yang punya 73 perpus, MIT hanya punya lima perpustakaan besar. Kebetulan kebutuhanku dan Seiru ada di Hayden Library, jadi kami bisa baca semalaman sama-sama di sini. Perpus ini lumayan nyaman dan hangat karena punya alat pemanas ruangan baru. Kami suka menggelar selimut di pojokan ruang belajar nomor 24, untuk baca sambil tidur-tiduran sampai subuh.
Seiru mengerjap untuk menghilangkan kantuk. Dia minum dari botol, lalu membuka tiga buku untuk lanjut membaca.
"Garnet asked whether you're doing well," katanya dengan tangan kanan mencatat materi buku pertama dan tangan kiri menelusuri baris-baris paragraf buku kedua. "How's your therapy going?"
"Fine," jawabku pendek.
"In what way?" suara lirihnya terdengar nyaring di keheningan.
"Nothing much noted."
Seiru membalik dua halaman buku. Bunyinya seperti kertas yang dirobek di depan mikrofon.
"You see him?" tanyaku berusaha tidak terdengar ingin tahu.
"I see Dr. Altman. He's in charge to treat me now," jawab Seiru.
"I don't see why you need it," kataku. "You look normal."
"No one thinks so. I'm in Linear project and I'm earning their respect," jawab Seiru dengan nada biasa saja. Tapi aku memahami apa yang dia maksudkan. Memangnya siapa yang suka terapi kalau kami bisa hidup dengan baik tanpa harus melakukannya. Seiru rela kuliah di MIT hanya untuk membungkam para teknisi maglev agar tidak punya alasan lagi untuk mendepaknya.
"You haven't suffocate for a while," katanya tanpa berhenti membaca sambil mencatat untuk bahan referensi di kelas. "I suggest you see Garnet at least to report."
"He's not my boss," timpalku.
"Boss your ass, he's treating you," umpatnya datar seperti bicara pada lantai. "I see you're kind of special in his concern. Just see him, anyway."
Aku tidak peduli. Kututup salah satu buku bacaanku setelah menyelesaikan halaman terahir. Aku mencatat judul dan nama penulisnya. Ershad Guzal.
Alisku berkerut. Nama itu terasa familiar, tapi aku tidak ingat kenapa. Kuketik nama itu di mesin pencari perpus. Ada dua judul buku lain dengan nama penulis sama. Dari keterangan profil penulis di sampul belakang buku, beliau adalah dokter jiwa di Massachusetts General Hospital yang mengajar di Fakultas Psikologi Boston University.
Alamatnya di Marlborough street? Backbay. Kompleks perumahan mewah Boston yang berdekorasi kuno di seberang Longfellow Bridge. Dekat sekali.
Nama itu agak mengganjal di pikiranku.
"Hey Seiru, I gotta go," pamitku sambil berdiri.
"I thought you said you got a 'killer quiz' for tomorrow," timpalnya tanpa menghentikan kesibukan. "Just stay, I'll wake you up if you can't handle those giant books."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi