"Rald sini deh, sini deh!" panggil Mita antusias.
Setelah empat hari absen, aku masuk sekolah dengan tangan terlindung gips dan perban. Tidak ada teman yang kelihatan heboh melihatku jadi mumi karena mereka menjenguk ke rumah sakit tiap hari. Aku masuk ke dalam kelas mengikuti Mita yang memanduku ke mejaku sendiri. Di sana sudah ada Alan, Ara, Yoga, dan Steven yang mengerumuni kado merah khas dari si secret admirer.
"Buruan buka, dong," desak Ara penasaran.
"Kita endus-endus kayanya makanan lagi, deh."
"Laper nih, Raaald... Tadi sarapan kurang."
"Buka aja," kataku tanpa minat.
"Mantap, coy!!" Alan dan Yoga langsung tos udara.
Kertas kado merah bertuliskan namaku itu segera hancur dirobek-robek. Mereka bersorak girang setelah melihat isinya.
"Get well soon," Ara membaca secarik kertas yang menyertainya. "Perhatian juga, ya."
"Fix! Pasti cewek yang ngirim," kata Yoga.
"Hebat amat jaringannya sampe tau kalo Rald bakal masuk hari ini," puji Alan.
"Tau, lah," bela Mita. "Makanan paporitnya aja tau. Kebab lagi nih Rald isinya."
Steven melirik muka cuekku. "Serius ga minat?"
"Gak! Takut kena jampi-jampi," tolakku sehingga mereka kegirangan. Kebab itu dimutilasi sampai semua orang dapat bagian.
"Tau gak siapa suspect-nya?" bisik Mita membungkuk ke mejaku dan Alan.
"Siapa? Siapa?" teman-teman merapat.
"Tau Kak Ghea kelas 3 IPA 2? Yang rambutnya panjang banget?"
"Tau, lah. Yang mirip kuntilanak," ceplos Alan. Muka Kakak itu memang seputih tembok dan rambutnya yang sepanjang lutut diurai tiap hari meskipun udara sedang gerah. Kalau berpapasan dengannya di tikungan toilet waktu sedang sepi pasti jantungan karena berasa ditabrak kuntilanak.
"Cantik, tau! Dia kan suka mondar-mandir gitu di depan kelas, buat ngintipin Rald dari jendela," kata Mita. Alan dan Yoga angguk-angguk karena pernah lihat sendiri.
"Ada lagi kelas 2 IPS. Intan, Desi, sama Vinka."
"Tau! Tau! Tau!" yang lain setuju.
"Ya, kan? Jelas banget, sumpah! Kalo anak kelas satu sih ga bakal berani inisiatif ngirim beginian."
Alan dan Yoga angguk-angguk kompak.
"Satu lagi," bisik Mita. "Rani."
Steven dan Yoga menoleh ke belakang untuk melihat Rani yang sedang menggambar di bangkunya. Cengiran Alan pudar.
"Tau, gak? Sketchbook Rani tuh isinya gambar mukanya Rald doang," kata Mita. "Kemaren pas kita ada kelas di lab, aku iseng ijin ke toilet buat buka buku gambarnya Rani. Nih aku ambil fotonya jangan rebutan!"
Aku diam, tidak berani mengira-ngira ekspresi wajah Alan yang duduk di sampingku.
"Kamu nggak peka banget sih, Raaald," Ara menyodorkan layar hape Mita. Itu adalah gambar murid laki-laki yang pakai seragam almamater sekolahku. Posisi duduknya kurang sopan, pegang komik sambil menaikkan sepatu ke atas meja. Gambar itu bagus dan jelas sekali sampai aku tahu kalau akulah yang ada di gambar Rani. Gambar kedua adalah aku yang sedang tertawa pakai kaos olahraga. Di gambar terahir ada aku dan Panthera yang keluar dari ruang BK. Serius yang ini gambarnya bagus. Rani memang sering ikut lomba lukis, tapi tidak disangka dia bisa menggambar seakurat ini. Tempat-tempat luka bonyok dan bentuknya pun sampai sama persis.
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi