Payung Hujan

422 63 7
                                    

"Adudududuh sakit," keluh Ayah.

"Yang ini, Om?"

"Iya yang itu injek lagi. Pegel!"

Aku menoleh ke pintu kamar Ayah yang terbuka. Ayah tengkurap di atas kasur, sementara Ara berjalan di atas punggung Ayah sambil berpegangan ke tembok. Ayah bilang pijat tangan kurang mantap, jadi Ayah sering minta aku atau Ara untuk menginjak punggungnya.

"Emang operasinya berapa jam sih, Om?" tanya Ara. "Sampe kaku gini badannya."

"Ini tadi kan operasi besar. Jadi dokter yang ngoperasi juga banyak. Soalnya lama. Bagian Om aja 4 jam."

"Emang operasi apa?"

"Anak SMP pinggang kanannya kelindes truk. Tulang pinggang, kemaluan, sampai paha atasnya remuk. Jadi reparasinya juga susah. Om cuma benahin organ dalemnya," jawab Ayah. Ara bergidik ngeri.

Bu Safir masuk dari pintu depan. "Rald, kalo udah selesai pijitnya suruh cepet makan, ya."

"Iya."

Setelah Ara selesai memijat Ayah, kami berempat makan malam bersama. Suasana tenang seperti biasa, sampai Ayah dan Bu Safir yang duduk berdampingan saling bertukar pandang. Ayah berdeham kaku.

"Ayah ada yang mau disampaikan," kata Ayah terlihat agak grogi. "Buat Rald, juga buat Ara."

Ara menoleh sambil mengunyah. Kulirik tangan Ayah yang menggenggam tangan Bu Safir di bawah meja.

"Saya dan Bu Safir ingin menikah. Kami minta restu dari kalian berdua."

Selera makanku hilang. Ara tersenyum senang, tapi senyumnya pudar melihat wajahku yang datar.

"Itu keputusan atau kesepakatan?" tanyaku.

"Ayah cuma minta persetujuan kamu, Rald."

"Kalo udah jadi keputusan ngapain minta persetujuan? Pendapat aku sama Ara ga bakal ada gunanya, kan?"

Hening. Bu Safir menarik tangannya dari genggaman Ayah.

Aku menaruh sendok lalu berdiri. "Aku nginep di rumah Alan."

Ayah menarik napas sambil memejamkan mata untuk mengontrol emosi. Bu Safir cuma diam, merasa bersalah sekaligus sakit hati. Ara berdiri untuk menyusulku keluar ke halaman.

"Kamu egois, tau gak?" makinya sebelum kukakyuh pedal sepeda. "Perlu ya kamu bikin Mama sakit hati?"

"Aku ga ada niat bikin mama kamu sakit hati," kataku dingin. "Aku cuma ga suka punya anggota keluarga tambahan. Ngerti?"

Ara tercekat. Rasa sakit hatinya tercermin jelas di wajah.

"Jadi selama ini kamu anggep apa aku sama Mama?" tanyanya lirih dengan kemarahan tertahan. "Emang ga cukup ya hal serba lebih yang kamu punya? Kamu tuh sempurna. Kemana-mana jadi pusat perhatian. Hidup kamu nggak susah. Aku tuh iri setengah mati sama kamu. Tapi aku ga masalah karna aku pikir kita keluarga."

Gerimis mulai turun, tapi sangat tipis sehingga tidak cukup untuk membasahi rambut dan jaketku.

"Kamu ga tau rasanya ditinggalin papa yang bikin keluarga sendiri di kota sebelah. Kamu tuh beruntung dilahirin jadi anaknya Om Tirta! Apa salahnya kamu bagi kasih sayang Om dikit aja buat Mama?"

"Serba lebih, kamu bilang? Jadi pusat perhatian? Tau rasanya?" potongku mendiamkannya. "Muak!"

Kubiarkan kata itu menggaung di keheningan. Mata Ara yang marah sekarang sudah penuh digenangi air mata.

Kubuang napas sambil mendongak sebentar ke langit, lalu menoleh ke Ara lagi. "Mau hujan, Ra," kataku dengan nada lebih lembut. "Jangan di luar kelamaan. Nggak pake jaket gitu."

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang