Bulan April. Ujian Nasional dilaksanakan serempak. Kalau saja Alan ikut ujian, dia pasti duduk dua kursi di depanku. Alan suka nyontek meskipun nilainya bagus. Itu lebih seperti hobi untuk mengusir kebosanan waktu mengerjakan soal. Dia suka baca komik ninja yang katanya menginspirasi untuk membuat macam-macam trik menyontek. Teman sekongkolannya adalah Mita dan Yoga, karena cuma mereka bertiga saja di kelasku yang tidak suka belajar. Jangan menghitungku meskipun aku sama saja. Aku tidak belajar bukan karena malas, tapi karena membaca ulang pelajaran yang sudah pernah kudengar rasanya sangat membosankan.
"Gaes! Panthera tuh Panthera," bisik Mita lima menit sebelum bel masuk. Aku dan teman-teman menoleh ke ujung koridor.
Panthera berjalan dengan langkah lurus mengabaikan murid-murid yang berbisik-bisik membicarakannya. Wajahnya sangat tirus, dan badannya yang jangkung kelihatan semakin tinggi setelah dagingnya menyusut. Matanya punya lingkaran hitam yang tampak seperti orang sakit kronis. Bibirnya pecah-pecah dan mengelupas bekas berdarah. Tinggal di pusat rehabilitasi membuatnya tampak mengenaskan. Dia memeriksa kartu ujian untuk mencari kode ruangan yang sesuai, lalu masuk tanpa memedulikan sekitar.
TEEET! Bel pun berbunyi. Ujian dimulai.
҉
"Ini Rald yang ini!"
"Nomor sembilan dulu!"
"Ya udah yang ini dulu," kataku sambil berjongkok di tempat parkir menghadapi halaman buku tulis Ara yang terbuka di atas paving. Sepulang dari ujian, teman-teman sekelasku yang ditempatkan di ruangan berbeda mencegatku di tempat parkir dengan membawa beberapa nomor soal Matematika yang masih mereka ingat. Mereka mengerumuniku dengan berdiri membungkuk dalam berbagai posisi, sehingga bukunya jadi gelap karena sinar matahari malah terblokir.
"Diintegralin dulu," kataku sambil mencoret-coret kertas dengan notasi penyelesaian.
"Kok dua kali, Rald?"
"Turunannya kan belom sederhana," jawabku tanpa berhenti menulis. "Trus pake log tiga. Udah."
"Yah, cuman gitu doang?" mereka menegakkan punggung.
"Anjir ga kepikiran!"
"Nomor lima, nomor lima!"
"Woy, anak aksel!" panggil Liza, jadi kami menoleh serempak.
"Udaaah, sana pulang aja!" teman-teman mengusir Liza. "Stevennya lagi sibuk! Yuk, yuk, nomor lima!"
Liza yang cemberut karena dikacangin Steven jadi terpaksa pulang naik angkot. Di saat-saat penentuan nasib begini pacar bisa nomor dua.
Setelah membahas soal ujian, teman-teman pergi rame-rame ke cafe. Aku menyuruh Ara ikut saja, tapi dia bilang mau diam dulu di sekolah bersamaku. Barulah waktu melihat Panthera, Ara berubah pikiran.
"Rald," bisik Ara. "Tuh ada Panthera. Ga diajak ngobrol?"
Aku menoleh ke belakang. Panthera duduk-duduk sendirian di pendopo depan ruang guru. Dia menghadap ke lapangan basket sehingga hanya punggungnya yang kelihatan.
"Kalo gitu aku jadi deh ikut ke cafe," kata Ara. "Kamu temenin Panthera, ya."
Aku tidak merespon.
"Ayo dong, Rald..." Ara menarik pelan ujung lengan seragamku. "Kalaupun nanti obrolannya bakal ga enak, habis ini kalian juga ga bakal ketemu lagi, kan?"
"Ya udah," kataku ahirnya. "Ati-ati jalan ke cafenya."
Aku berjalan ke pendopo setelah Ara pergi dengan teman-teman. Meskipun sekarang sudah jarang hujan, awan masih bergumpal-gumpal menutupi matahari. Kuhentikan langkah di belakang Panthera. Dia sedang memperhatikan rontokan bunga akasia di atas atap, tapi segera menoleh ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi