Blind Spot

347 55 0
                                    

Bau tumisan siput menyesaki dapur. Aku bersin berkali-kali karena Kakak memasukkan terlalu banyak cabe. Baunya jadi beda setelah cincangan bunga sedap malam dimasukkan ke dalamnya. Waktu kutanya kenapa, Kakak bilang tunangannya suka menambahkan mawar dan bunga sedap malam ke dalam tumisan. Kuakui baunya jadi lumayan meskipun tidak familiar.

"Orangnya gimana?" tanyaku sambil mengangkat sepohon dandelion utuh dari air rebusan. Aku bersikeras untuk tidak memotong-motongnya ke ukuran yang lebih gampang dimakan.

"Baik," jawabnya kurang lengkap.

"Baik aja?"

"Cantik," tambahnya tersenyum. "Sering ketawa."

"Apa lagi?"

"Masakannya enak," imbuhnya. "Suka banget bikin yang aneh-aneh, dari bahan yang aneh-aneh, tapi hasilnya tetap enak. Buat dia nggak ada yang nggak bisa dimakan."

"Jadi ini hasil eksperimen dia?"

"Orangnya juga suka bikin kue," katanya. Seperti Ara. Mungkin selera kami tidak jauh beda.

"Kenal di kampus?"

"Iya," jawab Kakak. "Dia dokter hewan. Waktu masih di MIT dulu kita satu fakultas. Tapi karena nggak keterima di harvard dia lajut pendidikan di BU."

"Sekarang kerja di Boston juga?" aku masih penasaran.

"Di klinik deket kampus."

"Pasiennya kucing sama anjing?

"Macem-macem. Sering juga dapet pasien burung, kuda, reptil, dan primata. Yang paling fenomenal itu ular sanca sepanjang 4 meter," cerita Kakak. "Badannya sebesar paha, jadi gerakannya kuat banget waktu kesakitan. Sempat lepas juga. Jadi anak-anak koas pada ketakutan waktu disuruh nangkap buat dibius."

Wuah. Ekstrim juga kerjaan dokter hewan.

Setelah tumisan siputnya matang, Kakak menggulung-gulung satu pohon dandelion yang sudah dipotong ke tepung bumbu instan untuk digoreng jadi tempura. Aku mencoba satu yang sudah matang dan kaget karena rasanya sangat enak. Daun dan batangnya jadi renyah dan lembut, tapi bunganya punya sedikit rasa pahit dan manis sekaligus.

Jangan salah mengira kalau ini adalah makan siang. Siang tadi aku dan Kak Garnet ketiduran di teras, karena efek minum chamomile waktu sedang kecapean. Kami bangun jam empat sore karena mencium bau siput yang gosong akibat kehabisan air. Sekarang di luar sudah gelap dan lampu pekarangan dinyalakan. Makan malam ini akan jadi super enak karena kami berdua sedang sangat kelaparan, setelah mendapat tambahan pekerjaan bersih-bersih panci gosong sambil membereskan sisa tungku pembakaran.

"Sini coba siputnya!"

Kuambil tumis siput dan sayur banyak-banyak ke piring.

"Besok mau jogging?" ajak Kakak. "Di deket sini ada ladang kubis yang luas banget dan bagus waktu matahari terbit."

Aku mengangguk sambil makan. "Siputnya enak. Ayah ga bisa masak."

Kak Garnet menahan tawa agar tidak tersedak. "Nanti kamu bisa ajari Ayah."

Kami tenggelam dalam piring masing-masing. Bunyi benturan sendok dan garpu memantul di dinding yang kosong. Tempura dandelion itu kuhabiskan sendiri karena enak. Aku jadi ingin kenalan dengan tunangan Kakak karena penasaran tanaman liar apalagi yang bisa dimakan.

Suapanku berhenti karena menyadari Kak Garnet sudah berhenti makan meskipun piringnya masih penuh. Dia sedang memperhatikanku.

"What?" tanyaku tanpa berhenti makan.

"Nope," jawabnya tersenyum, senyum khas Pak Radit yang biasa, lalu ikut melanjutkan makan.

"Mau teh bunga lagi habis makan?" tanyanya. Aku mengangguk. Rasa teh bunga segar itu memang jauh dari enak, tapi sekarang aku mulai suka.

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang