"Pak Radit kok bisa kunci kontrakannya ilang?" tanya Bu Safir waktu kami makan malam.
"Jatuh di lift kali, Ma," kata Ara. "Keluarnya aja susah."
"Ayah Rald dokter bedah, ya?" tanya Pak Radit.
"Om Tirta itu, orangnya serem, Pak," jawab Ara. "Waktu pertama kali ketemu, sumpah gayanya lebih kaku dari Rald. Disapa ga senyum, diajak ngobrol cuma 'hm' doang jawabannya. Ga punya kosakata."
Pak Radit hampir tertawa.
"Sekarang aja masih gitu," imbuh Ara. "Padahal kan kita keluarga."
"Keluarga dari mana?" potongku.
"Emangnya bukan?"
"Bukan! Ga usah ngaku-ngaku."
"Trus siapa yang masakin tiap hari? Yang suka rempong bikinin jamu kalo kamu lagi diare?"
"Ra, mulut!" tegurku karena malu didengar Pak Radit.
"Tau gak, Pak Radit? Rald tuh CD-nya suka kelupaan di dalem mesin cuci. Abis gitu kalo malem ga pernah sikat gigi."
"Mulut Ra, muluuutt!!!" kujejalkan tempe ke mulut Ara. Pak Radit berusaha mengendalikan tawanya yang tidak bersuara.
"Apa sih malu-maluin aja!" omel Bu Safir. "Yang bener kalo makan jangan kebiasaan sambil perang."
Pak Radit membantu Ara cuci piring. Mereka kelihatan akrab tertawa-tawa asik sendiri, bikin emosi.
"Ayah pulang jam berapa?" Bu Safir bertanya padaku.
"Kayanya besok pagi."
Di luar turun gerimis. Bunyi ribuan tetes air yang membentur tanah dan genting terdengar seperti barisan drum mini yang dipukul tanpa henti. Bunyinya lirih tapi memenuhi halaman, berisik tapi menenangkan. Aku lari melewati halaman rumah Ara ke halaman rumahku. Rumput yang basah mengkilap-kilap tertimpa cahaya lampu teras. Langkah berat Pak Radit mengikutiku di atas rumput, lalu melompat bergiliran ke teras rumahku. Kubuka kunci pintu rumah untuk membiarkan Pak Radit masuk. Dia menginjak keset sambil mengacak-acak rambutnya yang basah kuyup.
"Bapak naik aja," aku menunjuk tangga. "Saya ambilin handuk."
Seperti normalnya tamu yang masuk rumah orang untuk pertama kali, Pak Radit berjalan sambil melihat setiap sudut ruangan dan dinding. Aku membawa handuk dan mengikuti di belakang langkahnya. Waktu melewati dinding tangga yang berjendela kaca vertikal, Pak Radit berhenti berjalan.
"Itu panel surya?" tanyanya menunjuk ke halaman belakang, pada lempengan lebar yang terguyur hujan.
"Rumah saya sama Bu Safir nggak pake listrik PLN," kataku. "Mobil Ayah juga ga pake bensin. Mahal BBM suka naik."
"Kamu yang pasang?"
"Dibantuin kuli," jawabku pendek.
Dulu sebenarnya aku menolak keras pindah ke Surabaya karena ini kota besar dan udaranya panas. Tapi setelah dipaksa-paksa, ahirnya aku mau juga pindah dengan syarat Ayah harus rela rumahnya kuobrak-abrik untuk dipasangi panel surya. Uang Ayah perlu sekali-sekali dikuras buat alat-alat yang bermanfaat.
Pak Radit memandangi halaman belakang rumahku yang penuh kawat jemuran. Aneh karena dia malah senyum-senyum setelah melihat seberapa panjang kawat jemurannya daripada waktu memergoki adanya panel surya.
Aku mendahului langkahnya menaiki sisa tangga. Waktu kami sampai di lantai dua, Pak Radit melirik sebuah powerbank raksasa. Alat itu adalah pusat energi rumahku yang listriknya dibagi-bagi ke lampu, mesin air, dan colokan listrik yang menyebar ke seluruh bagian rumahku dan rumah Bu Safir. Colokan-colokan itu berfungsi seperti colokan listrik biasa yang bisa dipakai untuk tv, seterika, kulkas, magicom, komputer, dan elektronik lain. Sebulan setelah pemasangan, rumahku masuk koran dan tv. Bulan berikutnya setelah mobil Ayah selesai dimodifikasi, rumahku malah didatangi Bupati.
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi