Aku masuk sekolah hari berikutnya. Karena hawatir sakit dadaku kemarin kambuh lagi, Ayah memaksa mengantarku ke sekolah pakai mobil. Akibatnya kami bertengkar heboh di rumah sakit jam enam pagi sampai jadi tontonan perawat dan anak-anak KOAS. Ahirnya Ara menelepon Alan agar menjemputku dengan sepeda, sehingga Ayah bisa memakai mobil untuk membawa pulang selimut dan barang-barangku ke rumah.
"Kayanya Rani rada aneh," kata Alan sambil mengayuh pedal. Aku berdiri di roda belakang sepeda sambil berpegangan ke pundaknya.
"Aneh kenapa?"
"Tau sketchbook yang dia bawa-bawa mulu, kan? Kemarin Mita iseng ngintip dari belakang waktu Rani lagi nggambar. Ternyata gambarnya gambar cowok. Pake seragam sekolah kita, lagi."
"Siapa?"
"Mana tau. Kata Mita cuma sekilas gitu trus langsung ditutup bukunya sama Rani."
"Rani kan emang jago ngelukis. Kali aja cuma iseng waktu ga ada kerjaan. Atau lagi bikin komik."
"Gitu, ya?" gumam Alan, lalu diam. "Sukur, deh."
"Kenapa ga langsung tembak aja. Keburu keduluan orang," kataku. "Masa suka dari kelas satu sampe sekarang ga ada kemajuan."
"Ntar aja lah, kalo udah berhasil bikin Rani suka," jawab Alan. "Kan kasihan Rani kalo pacaran cuma gara-gara ga bisa nolak. Cewek introvert tuh perasaannya halus, jadi musti hati-hati deketinnya."
Aku langsung jalan ke kelas sementara Alan belok ke tempat parkir siswa untuk menaruh sepeda. Kututup kepalaku dengan hoodie jaket untuk membatasi pandangan dari ramainya halaman sekolah.
Aku menoleh saat melewati sepatu yang kukenal. Pak Radit sedang ngobrol di pintu koridor dengan anak-anak Aksel B.
"Pagi, Pak Radit!!" sapa segerombolan murid yang lewat di belakangku.
"Pagi," senyumnya, lalu melihatku. "Pagi, Rald. Udah sembuh?"
Aku menjawab dengan anggukan formalitas tanpa memelankan langkah.
"Dada masih sakit?" tanyanya lagi. Aku terpaksa berhenti meskipun malas. Pak Radit melangkah mendekat sambil mengeluarkan botol gelap yang sangat kecil dari saku celananya untuk disodorkan padaku. "Pakai ini biar cepet sembuh."
Essential oil?
"Ini bisa menyembuhkan peradangan dan iritasi pernapasan tanpa efek samping," katanya. "Bagus buat orang yang nggak mau minum obat. Tinggal diteteskan ke teh hangat, diminum pagi atau sebelum tidur."
Aku mengulurkan tangan ragu-ragu, tapi memutuskan untuk menerimanya. "Makasih. Bukan sogokan, kan?"
Pak Radit tertawa. "Saya nggak perlu nyogok buat bikin kamu mau jadi subjek research saya."
Orang aneh. Dari mana pula dia tahu kalau aku anti minum obat?
Kelasku berisik seperti biasa. Baru datang saja Alan sudah lempar-lemparan sapu dengan Mita. Ara yang duduk tepat di depan bangkuku mengobrol dengan Ayu dan Rani. Rani teman sebangku Ara duduk bersebelahan, sedangkan Ayu berdiri di depan meja mereka dengan punggung disandarkan ke tembok.
"Jam pertama Bahasa Inggris...!!" Ara memelankan suara agar tidak terdengar histeris.
"Pak Radit ganteng banget ga sih, Ra?" sambung Ayu. "Jarang-jarang kan kita dapet guru cogan."
"Udah pinter, seru, aksennya bagus, humoris, keren banget, lagi," Ara menghitung jarinya yang dari dulu berjumlah lima.
"Pasti instagramnya kebanjiran followers. Udah punya pacar belom, ya?" bisik Ayu padahal jelas-jelas Pak Radit pakai cincin. Rani cuma senyum sambil mengerjakan pe-er Biologi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi