Jadian

404 63 7
                                    

Selama seminggu ini aku jarang makan di rumah Ara. Kupikir kami akan sedikit canggung setelah bertengkar. Tapi Ara bicara padaku seperti tidak terjadi apa-apa, sehingga aku bisa bersikap biasa.

Aku duduk di dapur untuk menonton Ara yang sedang membuat kue. Kusandarkan dada dan lengan ke kursi yang sengaja kutaruh terbalik, melihat Ara memasukkan loyang pertama ke dalam oven. Bu Safir sedang keluar kota. Waktu rumah sedang sepi begini, Ara menghilangkan kebosanan dengan bikin kue. Seperti biasa aku yang jadi tester icip-icip kalau kuenya sudah jadi. Ara kembali ke meja untuk menata adonan di loyang kedua.

"Mau kismis?" tanyanya. Aku menggeleng. "Choco chips?"

"Boleh," kataku. "Ga usah bikin banyak-banyak. Palingan Ayah cuma makan satu."

"Tar kan topping-nya dibikin beda-beda. Isinya juga beda semua. Jadi nggak bosen makannya. Biasanya kamu juga makan banyak kalo ada keju sama coklat," celotehnya. "Mau dikasih topping apa?" Ara siap menuang krim ke plastik kerucut.

"Coklat ga pake krim. Atasnya kasih keju kotak-kotak."

"Yang lain?"

"Coklatnya agak pahit diaduk sama kacang mete."

"Trus?"

"Lagi?" kataku. "Mm... Kasih krim tawar tipis pake keju parut."

"Punya Om?"

"Kasih krim manis aja yang tebel trus diparutin kismis. Jangan dicampur susu."

"Satunya lagi?"

"Bikin aja yang sama."

Ara mengisi tiga plastik kerucut dengan krim dan coklat. Sambil menghias kue, dia bersenandung pelan. Lagu itu memenuhi ruang makan dan dapur yang sepi. Dia sering menyanyikannya pagi-pagi di kamar mandi.

"Kejunya kurang, nggak?" senandungnya berhenti sebelum sampai ke reff.

"Tambah lagi."

Ara menambahkan keju. "Cukup?"

Aku mengangguk.

Ara melanjutkan senandung. Aku menonton sambil menaruh dagu di atas kayu sandaran kursi. Ara kelihatan paling senang waktu sedang menghias kue. Waktu orang lain memasak dan bikin kue dengan muka capek dan buru-buru, atau sambil ngobrol sehingga membosankan untuk ditonton, Ara selalu membuat topping sambil senyum seolah-olah kue-kue ini akan diikutkan karnafal.

Rasanya pemandangan ini sangat familiar. Hampir seperti dejavu. Tentu saja karena aku sering nonton Ara melakukannya. Tapi semakin aku merasa tenang mendengar dia bersenandung, sesak napasku mulai kambuh. Aku diam saja karena tidak ingin membuat senandungnya berhenti lagi, berusaha mengatur agar napasku tidak berbunyi.

"Habis lulus mau bikin bakery?" tanyaku waktu lagunya selesai.

"Kalo bikin sih masih kejauhan. Mana ada uang," jawabnya. "Paling cuma toko kecil-kecilan. Kuenya juga buatan sendiri, jadi bikinnya nggak banyak-banyak."

"Mau bikin tiap hari?" tanyaku lagi. Ara mengangguk dua kali. "Boleh nonton tiap hari?"

Ara ketawa. "Emang kamu nggak mau kuliah?"

"Kalo lagi libur."

"Itu nggak tiap hari, Rald!"

"Tiap hari waktu lagi libur."

"Terserah!"

"Ra," panggilku pelan. "Mau jadian, nggak?"

҉

"Ini kok nggak habis kuenya?" tanya Bu Safir yang barusan pulang pagi-pagi dari Semarang karena ada jam mengajar. Aku, Ayah, dan Ara sedang menghabiskan sarapan di meja makan.

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang