"Tu, wa, ga!"
"HA!!"
"Tu, wa, ga!"
"HA!!"
Aku dan anak-anak karate berlari keliling kompleks setiap kali akan memulai latihan. Karena pada jam 8 malam jalan raya sekitar sini sepi, kami bisa berlari bebas di aspal karena trotoar terlalu sempit. Mas Jun yang memimpin di depan, jadi kami menjawab dengan teriakan kompak setiap dia mengucapkan hitungan tiga agar langkah dan kecepatan lari kami tetap sama.
Barisan berbelok memasuki gedung tua setinggi lima lantai. Dulunya bangunan ini adalah sebuah kantor, tapi beralih fungsi menjadi dojo karate setelah ditinggalkan. Dojo kami berada di puncak gedung. Untuk sampai, kami harus berlari mendaki tangga tanpa bantuan lift. Akibatnya semua orang sudah bercucuran keringat sebelum latihan dimulai.
Dojo ini berbentuk ruangan yang sangat luas. Tidak bertiang dan tidak bersekat seperti lantai-lantai di bawahnya. Tempat ini sebenarnya adalah loteng gedung di atas lantai lima, sehingga tak ada yang memisahkan kami dengan konstruksi kayu-kayu raksasa yang menopang atap gedung. Di ketiga sisi dindingnya berderet barisan jendela tanpa kaca dan penutup, sehingga hembusan angin malam dari ketinggian pun tak terhalang masuk.
Pak Radit menunggu kami berdiri di tengah luasnya dojo, membelakangi bendera-bendera Kyokushin yang diletakkan di dinding yang tak berjendela. Kesanalah barisan kami menghadap. Alan, Yoga, dan Mita kelihatan senang mengetahui bahwa semester ini Pak Radit lah yang jadi pelatih sukarelawan. Pelatih kami selalu berganti. Kadang kami harus latihan sendiri kalau tidak menemukan pemilik sabuk hitam yang bersedia menjadi pelatih tanpa digaji.
"Hormat!" teriak Mas Jun lantang. Barisan pun membungkuk pada Pak Radit dengan gerakan kompak, lalu kembali berdiri tegak.
Pak Radit berdiri diam. Matanya menyusuri setiap wajah, membuat teman-teman grogi dan hampir salah tingkah. Tanpa kacamata yang biasa dia kenakan di sekolah, garis wajah Pak Radit yang tegas tampaknya sedikit mengintimidasi orang yang baru pertama kali melihatnya.
"Selamat pagi," sapa Pak Radit dingin dan datar. Suara rendahnya menggaung di seluruh ruangan yang senyap. Detik berikutnya tawa semua orang pecah sehingga mencairkan suasana. Belum memperkenalkan diri saja Pak Radit sudah merebut simpati mereka semua.
"MALEM, KAAAK...!" jawab teman-teman kompak.
"Nama saya Radit." Pak Radit mulai memperkenalkan diri. "Lahir di Jogja, sekarang tinggal di Jl. Legundi Surabaya. Kesibukan saya sekarang mengajar di SMA 5 Surabaya. Jadi di sini sudah ada beberapa orang yang kenal saya."
"Hadir, Pak!!" Alan dan Yoga kompak angkat tangan. Pak Radit senyum lebar.
"Bulan depan ada turnamen tingkat nasional. Ada yang rencana ikut?" tanya Pak Radit. Aku, Yoga, Panthera, beberapa mahasiswa UNAIR dan anak-anak dari SMA lain mengangkat tangan. Sialan jumlahnya sebelas orang. Tanganku terpaksa kuturunkan.
"Woy, Rald," bisik Yoga. Dia lalu menendang betis Alan. Alan yang tanggap situasi cepat-cepat angkat tangan. Dengan enggan tanganku pun kembali kuangkat.
"Dua belas orang?" hitung Pak Radit. "Hari ini kita mulai dulu sama pemanasan dan pelenturan. Sabuk biru dan coklat bisa lanjut latihan kumite, yang lain belajar kihon dan kata. Nanti sepulang latihan yang mau ikut turnamen bisa diskusi sama saya."
"Maaf, Pak," sela Mita. "Yang baru gabung belum dapet materi dasar, Pak."
"Iya, Kak," sahut yang lain. "Biasanya awal tahun gini materinya diulang biar yang baru gabung bisa paham."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi