Perpisahan

368 56 4
                                    

Mataku mengerjap. Masih gelap. Adzan subuh belum terdengar.

Aku bangun untuk menyalakan lampu. Jam dinding menunjukkan waktu pukul dua dini hari. Kubuka pintu kamar dan melangkah keluar. Pak Radit berada di ruang tamu beralaskan sejadah. Jarinya menyusuri tasbih. Dzikirnya berhenti menyadari aku berdiri di belakangnya.

"Nggak bisa tidur?" toleh Pak Radit.

Aku bersila di sampingnya, melirik sebuah koper besar di sudut ruangan. Koper itu telah terisi penuh dengan lipatan pakaian. Aku sudah dengar dari Mita, Pak Radit berpamitan kemarin waktu aku dan Alan bolos sekolah. Data research-nya sudah lengkap, dan satu semester mengajarnya sudai usai.

"Mau jalan-jalan?" ajaknya.

"Hah?" aku menaikkan sebelah alis. "Kemana?"

"Kemana aja. Pasti seru keluar tengah malam begini waktu nggak ada orang di jalan."

Ada-ada saja!

Kami keluar pakai jaket di luar sweater. Jalan raya sepi dan basah. Aku merasa seperti hantu. Berjalan berdua saja dengan Pak Radit di antara toko-toko, rumah, dan gedung yang tertutup rapat seperti tidak berpenghuni. Tidak ada kendaraan yang melintas seperti tak ada tanda kehidupan. Perjalanan kami berahir waktu menemukan kursi taman di tepi jalan. Aku dan Pak Radit duduk di sana untuk istirahat.

"Lapar juga, ya," celetuk Pak Radit sambil menoleh kanan-kiri.

"Harusnya Bapak bawa telur rebus kalo udah tau ga ada toko buka malem-malem gini."

"Kenapa nggak bilangin saya dari tadiii," Pak Radit mengacak-acak rambutku. Aku pura-pura kesal padahal lumayan suka juga dengan kebiasaan sok akrabnya ini. Mungkin karena sejauh yang kuingat, Ayah tidak pernah menunjukkan perhatiannya padaku dengan melakukan kontak fisik sepele seperti ini. Dulu aku tidak begitu peduli. Tapi kalau diingat lagi, alangkah normalnya masa kecilku seandainya Ayah mau memberiku perhatian-perhatian kecil.

Saat itu aku dan Pak Radit sama-diam. Kami menatap lampu-lampu yang berderet di pinggir jalan. Sesekali angin dingin berhembus lemah. Kesunyian ini rasanya tenang. Cuma ada pohon dan aspal, dan langit mendung yang gelap. Rasanya seperti menguasai seluruh oksigen di dunia.

"Bapak tahu kabar Panthera?" tanyaku. Pak Radit mengangguk.

"Kamu tahu, setiap orang punya rasa hausnya sendiri," kata Pak Radit. "Anak yang di masa kecilnya kurang didengarkan, waktu tumbuh dewasa cenderung punya sifat sombong dan haus perhatian. Anak perempuan dari keluarga yang terlalu kikir biasanya tumbuh jadi shopaholic. Jenis shopaholic yang bikin berantakan hidupnya sendiri karena nggak bisa berhenti. Rasa haus ini muncul karena orang kehilangan sesuatu yang seharusnya dia dapat di masa kecil."

Aku merenung sebentar. "Jadi Panthera lagi haus?"

Pak Radit mengangguk. "Tapi dia nggak tahu cara mengatasinya. Semakin dewasa penderitanya, semakin dia sadar kalau dia sedang kehausan. Orang yang haus perhatian, misalnya, ahirnya juga akan tahu kalau mengarang kebohongan untuk mendapatkan perhatian yang instan nggak akan mengobati rasa hausnya. Tapi kebohongan itu akan terus, terus dia ulangi. Dan akan terulang lagi berapa kali pun dia menyesali kebohongannya. Seperti candu."

Aku mendengarkan, mengabaikan penurunan suhu malam yang lumayan tajam. Pak Radit tampak tidak terpengaruh.

"Waktu kelaparan, reaksi manusia yang paling normal adalah mencari benda apa saja yang bisa dimakan," lanjutnya. "Masa bodoh itu mungkin beracun atau terlalu kotor dan terjangkit virus. Bukan karena takut mati kelaparan atau takut lambungnya rusak. Refleks manusia nggak ada hubungannya dengan sebab-akibat. Refleks itu hanya menjalankan fungsinya; sebuah skill mendasar yang dimiliki manusia untuk bertahan hidup. Begitu juga dengan rasa haus yang bersifat psikologis. Nikotin dan narkotik mirip nektar manis yang punya rasa universal karena bisa menghambat impuls neuron seketika waktu dikonsumsi. Apapun rasa sakit dan haus orang yang mengkonsumsinya, akan terlupakan selama beberapa jam tanpa perlu diobati."

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang