Stempel Terahir

351 52 2
                                    

Hari kelulusan.

Sekolahku punya reputasi baik dalam segala hal, termasuk ketertiban di hari kelulusan. Sementara sekolah lain berkonvoi dan main coret-coretan, murid di sekolahku harus puas hanya dengan berteriak-teriak sambil berpelukan. Tentu saja kelasku tidak melakukan-nya. Dinyatakan lulus adalah hal biasa karena kami sudah tahu hasilnya. Tapi waktu amplop kelulusan datang, itu berarti masa kebebasan mutlak sudah di depan mata.

Kami membuat stempel bercetak kata L-U-L-U-S, dipadukan dengan tinta spesial yang tidak bisa luntur sekalipun dicuci sampai kulit mengelupas. Stempel itu akan dicapkan ke jidat kami dengan tinta coblosan pemilu.

"Gaes, bikin graffity dulu!"

"Wuaaaaahh!!!"

Aku dan teman-teman tepuk tangan menyambut kemeja putih yang dipegang Yoga dengan hanger jemuran. Kemeja itu berbau debu meskipun tetap putih licin seperti habis diseterika. Di dada kanannya terjahit nama Alan.

"Ada spidol warna-warni, gak?" tanya Yoga. "Tulis apa aja suka-suka kita di sini. Udah diijinin sama keluarganya Alan."

"Mau mau mau!!"

Sementara teman-teman berebut mencorat-coret baju seragam Alan dengan gambar dan kalimat aneh-aneh, atau seperti Ara yang cuma menulis 'Kangen, Lan..." dengan huruf kecil-kecil, aku cuma diam saja sambil sesekali menanggapi obrolan Steven yang juga mengantri. Aku tidak tahu apa akan mengganggu kalau Tante juga melihat namaku tertulis di situ. Mungkin saja setiap melihatnya, Tante bukannya tersenyum, tapi malah sedih karena namaku membangkitkan kenangan buruk.

"Ayo Rald buruan," Yoga yang sudah selesai menggambar pizza di samping gambar Rani, memegangi hanger baju di depanku. Akulah satu-satunya yang belum menyumbang graffity.

"Nih," Ara menyodorkan spidol merah. Aku menerimanya, lalu menulis 'Jangan ngiri sama kita' tanpa menambahkan tanda tangan.

"YEEEEYY!!" teman-teman bertepuk tangan setelah ahirnya seragam itu penuh.

"Nih," Yoga menyodorkannya padaku. "Kalo Rald aja yang nyimpen setuju, gak?"

"STUJUUU!!"

"Nggak dibalikin aja ke rumah Alan?" tanyaku.

"Kata ibunya Alan sih biar Rald aja yang nyimpen," jawab Mita. "Biar Alan nggak kesepian."

"Bilang gitu?" tanyaku. Mita dan Yoga mengangguk tanpa kehilangan senyum.

Kuambil pegangan hanger dari tangan Yoga.

"Tu, dua... CONGRATULATION, RAAAALD!!"

Daun kering menyebar kemana-mana. Memangnya tidak ada yang rela buang uang saku buat beli convetti? Tahun ini dari Surabaya hanya aku yang berhasil diterima di MIT.

"Kalo udah jadi bule jangan lupa sama kita, ya," kata Mitha.

"Saljuuu!" Yoga menumpahkan tanah pot ke rambutku.

"Bangsat!" makiku.

"Badai, badai!"

"Ambilin batu, Ra!"

"Gaes, gaes!" panggil Ara. "Tau gak hari ini ada kejutan? Aku telfon Pak Radit buat nyetempel kita! Tuh Pak Raditnya udah dateng!"

Kami kompak menoleh ke gerbang koridor. Kak Garnet melambai tinggi-tinggi, sehingga teman-teman bersorak kegirangan sambil lompat-lompat membalas lambaiannya.

"Stempel, stempel!"

"Awas tintanya numpah."

"Kasih ke Pak Radit!"

Teman-teman yang sudah kangen menyerbu untuk mencium tangannya. Aku masuk ke kelas untuk memasukkan seragam Alan ke dalam ransel, lalu menyandangnya keluar. Kak Garnet menoleh waktu aku berjalan cepat melewatinya. Teman-teman memanggil-manggil waktu melihatku berjalan pulang, tapi aku tidak menoleh ke belakang hingga membawa sepedaku meninggalkan gerbang sekolah.

҉

Aku bangun tidur siang agak kesorean. Sudah jam enam lewat, malah. Rumahku gelap karena lampu telat kunyalakan. Aku bangun dari sofa ruang tamu untuk menekan saklar lampu teras dan jalan, lalu lampu ruang tamu, ruang makan, dapur, lantas berjalan balik ke tangga melewati cermin besar di tembok dekat kamar Ayah. Aku kaget karena ada yang menempel di dahiku. Aku mendekat ke cermin untuk melihat lebih jelas. Ternyata yang menempel adalah bekas stempel pemilu warna biru pekat persis di foto instagram teman-teman.

Aku menoleh ke sudut-sudut rumah dengan waspada. Dengan marah kuperiksa kamar-kamar yang masih gelap, dan mencari jendela mana yang dibobol. Aku berjalan cepat ke jendela ruang tengah yang memang tidak pernah dikunci waktu siang. Kubanting daun jendelanya sampai tertutup dengan bunyi keras karena tidak menemukan siapa-siapa.

Aku kembali ke cermin. Dengan kasar kuhapus noda stempel itu kuat-kuat sampai kulitku jadi merah, tapi tidak berhasil. Aku pergi ke kamar mandi dan menggosoknya dengan sabun. Tidak berhasil. Kupakai deterjen tapi sedikit pun nodanya tidak bertambah luntur. Setelah mengulanginya empat kali, kesabaranku habis. Aku keluar ke gudang dan membuka tutup kaleng thinner, lalu menggosokkannya untuk menghapus stempel. Aku kembali ke kamar mandi untuk memeriksanya di cermin.

PRANGGG!! Kubanting cermin karena tulisannya masih terbaca meskipun kulitku rasanya terbakar. Aku naik tangga ke kamar, mencari apa saja yang mungkin bisa kupakai untuk meredakan rasa panasnya, tapi tidak ada apa-apa. Waktu lampu kunyalakan untuk mendapat penerangan yang lebih baik, lagi-lagi bentuk stempel itu terpantul dari cermin di pintu lemariku. Bukan kata LULUS yang tercetak di dahiku. Tulisannya lebih kecil dengan huruf yang lebih bagus, berbunyi Proud of You.

Seluruh tubuhku gemetar oleh kemarahan yang tidak terkendali. Kulempar cermin di pintu lemariku dengan gelas sampai retak, tapi pantulan tulisan itu menjadi lebih banyak dari setiap retakannya. Kulemparkan kamus dan buku Gawande sambil meraung marah. Cermin itu pecah menyebarkan kaca kemana-mana, meninggalkan lubang besar di lemari. Aku melemparkan speaker laptop, headphone, bantal, dan apa saja yang bisa kuraih sampai semua sisa kaca yang masih menempel di lemari jatuh ke lantai.

"Ada apa ya, Bu?" sayup-sayup kudengar suara beberapa tetangga di halaman. Bu Safir dan Ara menjawab lirih untuk minta maaf. Aku tidak peduli dan terus melempari lubang pintu lemariku seperti sedang kesetanan.

Bau kain seragam Alan yang kugantung di dekat jendela tertiup angin dari luar. Aku berhenti melempar, baru saja menyadari kalau benda terahir yang kupegang adalah pecahan kaca cermin. Kupandangi darah di telapak tanganku karena kaget dengan rasa perihnya.

Meskipun cuma sedikit, sesak napas itu datang lagi. Kugosok kulit dahiku kuat-kuat pakai tangan kiri dengan putus asa. Kupikir aku sudah bisa melupakan apa yang berhasil kuingat tiga bulan yang lalu. Untuk apa dia datang setelah mencabut hidupku yang normal, dan masih bersikap seperti Kakakku.

҉

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang