Rival

581 86 12
                                    


"Kebab satu ya, Pak. Sausnya yang banyak," pesanku di kios kebab pinggir jalan.

Seseorang ikut mengantri di sampingku. "Kebab satu ya, Pak. Sausnya yang banyak," pesannya. Aku menoleh karena sedetik lalu aku mengucapkan kalimat yang persis sama. Dia pakai karategi di balik jaket kanvas warna latte.

"Hey," sapa Pak Radit cerah. "Kamu lagi, ternyata."

Aku tersenyum kecut. Dia pikir aku tidak bosan lagi-lagi ketemu dia di luar sekolah?

"Adeknya ya, Mas?" tanya Bapak penjual kebab.

"Murid saya," jawab Pak Radit menepuk bahuku sok akrab.

"Oh, kirain. Mukanya mirip."

"Dia ini murid kesayangan saya," kata Pak Radit sambil menepuk-nepuk pundakku seenaknya. Murid kesayangan? Nyeri otot dan pegal-pegal di badanku saja belum sembuh habis kena hukuman push-up! Aku nyelonong pergi tanpa pamit begitu pesananku jadi. Kuabaikan Pak Radit yang berdiri di trotoar untuk melihatku pergi.

Kumakan kebabku sambil memedal sepeda. Aku bisa nyetir lumayan santai karena jalan raya di sini tidak terlalu ramai waktu malam. Aku berbelok ke halaman gedung tua. Kudaki tangga lima lantai ke dojo di puncak gedung, dimana lima puluh dua anak lain yang berpakaian putih sudah lebih dulu melakukan pemanasan dengan berkejar-kejaran sambil teriak-teriak ribut. Hari ini kami sepakat untuk tidak lari keliling kompleks karena ada perbaikan jalan.

Pak Radit datang enam menit kemudian. Aku dan murid lain yang masih berkeliaran segera berlari membentuk barisan rapi di tengah dojo, lalu membungkuk serempak untuk memberi hormat pada pelatih.

"Nggak ada yang absen?" tanya Pak Radit.

"OSU!!" jawab kami kompak sehingga bergema di tengah luasnya ruangan. Kami melakukan gerakan pemanasan dan pelenturan seperti biasa untuk mengurangi resiko cedera, dilanjutkan dengan latihan kumite dan gerakan kata.

"Rald," panggil Pak Radit. "Mulai sekarang kamu berpasangan sama Panthera."

Aku dan Panthera membuang napas malas. Tapi rasanya kami sudah kapok membantah mengingat apa yang terjadi minggu lalu. Panthera juga terpaksa ambil jalan damai.

Menu kumite hari ini adalah teknik membanting lawan. Pak Radit memberi contoh-contoh gerakan dan tips untuk memenangkan pertarungan. Kami memperagakan gerakan itu secara berpasangan; menjadi penyerang dan pembanting secara bergantian. Awalnya tidak ada masalah. Aku dan Panthera terpaksa jaga sikap karena ini cuma latihan yang akan cepat selesai. Tapi keadaan berubah waktu kami harus menerapkan gerakan itu dalam kumite bebas. Di sini tidak ada lagi aturan.

Panthera membantingku terlalu keras sampai sikuku hampir keseleo. Kasar sekali gerakannya! Pasti dia sengaja.

Aku menunduk sebentar untuk ambil napas agar tidak ketahuan kalau sedang kesakitan. Waktu datang giliranku membantingnya balik, emosiku terlalu mencolok sampai dia bisa membaca gerakanku sehingga berhasil menghindar. Makanya aku belum puas! Kenapa dari dulu ada saja jenis makhluk macam Panthera yang setiap gerakannya bikin otak meradang? Pantas dia dibully dan tidak pernah punya teman!

Panthera datang ke danger zone-ku dengan cepat, tapi aku sudah lebih dari siap. Bukannya bersiap membanting, aku menunduk untuk menusukkan siku ke belakang lutut Panthera. Dia roboh karena kesakitan sampai refleks berteriak. Tapi di luar dugaan, Panthera mendadak berdiri menyambar lengan kiriku dan membantingku dengan gerakan cepat. Aku meraung kesakitan waktu jatuh membentur lantai. Pergelangan tanganku rasanya terpelintir. Sakit sekali. Panthera buru-buru melepaskan tanganku sampai terkulai ke lantai.

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang