CWIIUWIIUWIIUWIIUWIIUWIIUWII!!
Aku kaget karena gerbang rumah Alan menjerit-jerit waktu kena senggol. Ibu Alan membuka pintu rumah sambil bawa senter, mungkin mengira ada maling.
"Lho, Rald? Basah begini?" katanya kaget bercampur hawatir. Tante mematikan alarm gembok gerbang sambil pakai payung, lalu membukakan kuncinya. "Ayo masuk!"
"Gemboknya baru, Tante?" tanyaku sambil menginjak keset teras.
"Dibeliin Alan di toko aksesoris depan gang situ," jawabnya. "Aneh-aneh ya barang jaman sekarang."
"Tapi bagus," pujiku.
"Tante bikinin teh anget, mau?"
"Makasih, Tante."
"Alaaan, ada Rald!" teriaknya sambil berjalan masuk. "Itu Alan di kamar," kata Tante sambil mengulurkan handuk. Aku berjalan masuk.
"Rald?" panggil Tante lagi. Dia menelengkan kepala untuk mengintip mukaku. Aku menunggunya bicara karena sepertinya Tante agak hawatir.
"Nggak jadi," senyumnya ramah. "Udah makan?"
Mungkin mukaku memang terlalu transparan sampai Ibu Alan pun tahu aku sedang ada masalah. "Udah, Tante. Saya ke Alan dulu."
"Nginep aja gapapa." ujarnya lembut.
Aku tersenyum dengan lebih tulus. "Makasih, Tante."
"Lho, ada Rald, ya?" sapa Ayah Alan menggendong adik Alan yang masih berumur 6 tahun.
"Om," sapaku. Kukeringkan rambut sambil berjalan ke kamar Alan. Dia sedang baca komik dengan telinga tertutup headphone. Aku masuk begitu saja, lantas menyambar keripik ubi yang tergeletak di meja belajar.
Alan melepas headphone. "Nggak bawa payung?"
Aku duduk di kursi meja belajar untuk menghabiskan keripik. Alan turun dari tempat tidur dan membuka lemari, lalu meletakkan lipatan celana dan sweater bersih dimeja.
"Kenapa lagi...?" tanyanya.
"Ayah mau nikah sama Bu Safir."
"Buset!" teriaknya benar-benar kaget. "Gila! Serius?"
"Ara juga udah setuju. Tinggal nunggu tanggal."
Alan memperhatikan ekspresi datarku. Seperti ibunya yang terlalu peka pada perasaan orang, Alan tahu aku sedang tidak baik-baik saja.
"Udah makan?" tanyanya hawatir. Aku tidak menjawab. Alan menghela napas sambil geleng-geleng prihatin. Kuganti bajuku dengan sweater Alan, lalu mencuci baju basahku dan menjemurnya di belakang. Melihatku masih berdiri saja setelah menyelesaikan cucian, Alan berjongkok di pintu belakang.
"Lan," kataku pelan. "Pernah nggak, punya sesuatu yang dipengenin semua orang, tapi kamu ga terlalu pengen punya?"
Alan mikir sebentar. Mulutnya berkomat-kamit mengulang pertanyaanku agar bisa paham.
"Sering, sih," katanya kemudian. "Biasanya ga terlalu aku pikirin. Langsung aja dikasih ke orang lain."
"Gimana kalo ga bisa dibagi atau dikasih ke orang?" tanyaku lagi. "Itu punya kamu, dan cuma kamu yang bisa pake. Ga bisa dituker atau dibuang."
Meskipun gagal paham apa yang kumaksud, dia tahu sesuatu yang serius sedang membebaniku.
"Ya diterima aja," jawabnya. "Mau gimana lagi? Kalo cuma aku yang bisa pake, aku bakal pake barang itu buat orang lain biar mereka yang ga bisa pinjem pun bisa ngerasain hasilnya. Istilah pendeknya, pake barang itu buat nolongin orang. Ga susah-susah amat, kan? Lagian mubadzir kalo punya barang bagus tapi ga tau cara pakenya."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi