Pertengahan semester kedua, musim ujian try-out. Murid akselerasi tahun kedua akan segera menghadapi ujian nasional seperti murid-murid kelas tiga reguler. Pada hari-hari seperti ini tidak ada murid yang bolos di sekolahku. Semuanya gila belajar, ambisius, dan dibayangi ketakutan akan kemungkinan tidak lulus. Kecuali Rani.
Ara bilang Rani menangis sepanjang hari sejak Alan dimakamkan. Menangis tanpa suara, cuma meringkuk di tempat tidur dengan air mata yang tidak mengering sebengkak apapun matanya. Kadang Ara mendengarnya merintih lirih memanggil Alan, sampai harus diinfus karena selalu memuntahkan makanan.
Selama tiga hari aku cuma telentang di tempat tidur. Aku juga bolos sekolah. Awalnya Ayah dan Bu Safir mengomel, tapi hari ini mereka berhenti menggangguku. Bu Safir cuma mengantar makanan ke depan pintu kamar lalu pergi. Sore tadi Ara juga membuatkanku roti bakar, tapi sampai sekarang aku belum punya selera makan.
Lampu kamar belum kunyalakan. Jendela kubuka lebar-lebar meskipun sedang hujan. Rasanya semua jadi membosankan sekarang. Aku tidak bisa pergi kemana-mana waktu sedang kacau. Tidak ada Alan di rumahnya.
Aku bisa saja datang kesana sambil cari alasan mengantar kue dari Bu Safir untuk Ibu Alan, tapi sekarang rasanya rumah itu jadi menakutkan. Sekedar minta maaf pun jadi sangat berat, meskipun aku sudah siap mendengar maafku tidak diterima. Ibu Alan bukan orang yang dulu kukenal. Aku sudah membuat hidupnya berantakan.
Aku menoleh ke hape yang tergeletak di tepi tempar tidur. Selama ini aku dan Pak Radit tidak pernah bertukar nomor. Dulu rasanya itu tidak perlu, karena dia selalu muncul sebelum aku membutuhkannya. Kemarin Ara memberiku secarik kertas berisi nomor Pak Radit. Jariku menekan tombol call, tapi tidak begitu berharap Pak Radit belum berganti nomor. Seharusnya sekarang nomor kartu teritori Indonesianya sudah tidak terpakai.
Ponsel sedang mencari hubungan. Tuuut! Tuuut!
Spontan aku duduk tegak. Tersambung!
Tuuut! Denyut jantungku bertambah cepat.
"Halo?" angkat Pak Radit di seberang.
Diam. Mulutku terkunci rapat.
"Halo?" ulangnya masih terdengar ramah. "Maaf, ini dengan siapa?"
Lama sekali aku tidak mendengar suara ini. Suara Pak Radit. Aku tidak bicara karena takut dia akan menutup telepon. Baik aku maupun Pak Radit saling menunggu respon masing-masing. Aku mendengarkan. Kesunyian di ujung sambungan hampir terasa nyaman. Aku sedang terhubung dengannya.
"Rald?" kata Pak Radit tiba-tiba. Aku tersentak. "Rald, is it you?"
Aku bingung harus menjawab atau tidak. Tolong jangan tutup teleponnya!
"Tolong, Rald," katanya. "Jangan cari saya lagi."
Tuuuuut! Hubungan terputus. Aku mencoba untuk menghubungi lagi, tapi ponselnya tidak aktif.
Kubanting punggung ke tempat tidur. Kodok dan jangkrik berbunyi bersahut-sahutan di luar jendela. Air hujan yang mereda menyisakan tetesan deras dari pinggir atap. Aku menutup mata untuk mendengarkan. Bau tanah basah tercium kuat. Aku menghirupnya dalam-dalam, menekan penyesalan yang membuat perut dan tenggorokanku terasa berat. Dua menit tadi adalah satu-satunya kesempatanku untuk memintanya pulang.
Klik! Pintu kamarku terbuka. Kepala Ara muncul dengan takut-takut, hawatir aku akan mengusirnya. "Rald?"
Aku tidak bergerak. Pelan-pelan Ara melangkah masuk. Dia duduk di tepi tempat tidur, memegang dahiku untuk memeriksa suhu tubuhku. "Kamu gapapa?"
"Gapapa," jawabku datar.
"Kamu panas. Minum obat, ya," bujuknya.
"Males."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi