Hari minggu.
Kukayuh sepedaku mencari rumah kontrakan Pak Radit. Aku berbelok ke gang kecil mengikuti alamat, lalu berhenti di sebuah rumah mungil berpagar bambu. Halaman berkerikilnya yang sempit ditanami beberapa pohon cabe, rosela, dan kemangi di bawah pohon bungur yang rindang. Pinggiran terasnya dijajari barisan polybag tanaman seledri, krisan, dan sirih merah yang tumbuh merambat ke tiang.
Aku mengetuk pintu setelah memarkir sepeda. Terdengar suara kaki mendekat dari dalam. Dan klik, pintu rumah terbuka.
"Hey," sapa Pak Radit tersenyum cerah. "Udah sarapan?"
"Udah."
"Mau minum apa? Saya punya macem-macem teh herbal. Ada yang rasanya enak juga."
"Air dingin aja," jawabku sopan.
Kami duduk di kursi rotan teras ditemani dua gelas air es. Pohon bungur membuat teras kecil ini terasa sejuk dan rindang. Guguran bunganya yang berwarna magenta mewarnai halaman.
"Ada yang belum kamu ceritakan sama saya?" tanya Pak Radit. Aku senang dia tidak berbasa-basi seperti kebanyakan orang yang rumahnya baru pertama kali kudatangi.
"Cerita yang gimana maksud Bapak?"
"Saya nggak tahu. Yang jelas masih ada yang mengganggu kamu," katanya. "Semacam beban yang nggak bisa kamu atasi selama bertahun-tahun."
Beban menahun? "Saya biasa aja tiap hari."
Pak Radit menghembuskan napas panjang, pura-pura kecewa. "Padahal waktu terapi kemarin saya pikir kamu udah mau bilang."
Sensitif sekali instingnya.
"Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita. Tapi itu akan sangat membantu proses terapinya," kata Pak Radit.
Aku tidak menjawab. Aku diam memperhatikan kelopak bungur yang tersapu angin di tanah. Bunyi lekatan es yang saling terpisah mengisi kesenyapan.
"Boleh saya tanya tentang keluarga?" tanya Pak Radit kemudian.
Aku mengangguk. "Bapak tanya aja."
"Anggota keluarga kamu cuma ada Ayah?"
Aku tahu suatu hari Pak Radit akan menanyakannya. Tidak ada foto selain aku dan Ayah yang mungkin dicarinya di rumahku waktu menginap. Malah kadang kupikir, saat itu Pak Radit sengaja pura-pura kehilangan kunci kontrakannya untuk melihat keadaan tempat tinggalku. Aku tidak membicarakan keluargaku dengan teman-teman karena mereka tahu aku tidak suka. Pada Alan pun, aku hanya menceritakan pertengkaranku dengan Ayah saja.
"Iya," jawabku. "Bunda saya meninggal waktu saya umur tiga tahun."
Pak Radit masih menungguku bicara. Aku ingin bercerita lebih banyak, tapi tidak tahu apakah tidak masalah kalau aku menumpahkan semuanya. Pak Radit cuma orang yang kebetulan baik padaku hanya karena kepentingan research-nya.
"...Saya punya Kakak," kataku ahirnya. "Tapi waktu dia mau diadopsi orang, Ayah nggak bilang apa-apa. Dibiarin aja."
Rasa sakit yang telah belasan tahun kulupakan kini menggumpal di dadaku seperti bongkahan batu besar. Tenggorokanku menjadi terlalu berat untuk bicara, tapi aku sudah terlanjur memulainya.
"Saya nggak ngerti apa yang bener-bener penting buat Ayah," kataku datar. "Kayanya sejak Bunda saya meninggal, Ayah udah berubah. Udah nggak asik, kebanyakan kerja. Saya udah gede aja mungkin Ayah ga nyadar. Rhesus saya negatif. Itu bikin Ayah jadi overprotektif. Jadi tiap kali saya luka, Ayah suka marah berlebihan sampe bawa-bawa kata mati yang nggak pantas."
"Rhesus negatif?" ulangnya. "Kakak kamu sodara kandung?"
"Orang tua saya dua-duanya berrhesus negatif," jawabku. Pak Radit mengangguk paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi