Garnet

356 55 1
                                    

Hari Sabtu, aku naik kereta jurusan Jogja. Stasiun masih ramai segila biasanya. Kuturunkan ujung topiku ke depan untuk membatasi pandangan, sehingga yang bisa kulihat cuma lantai dan kaki orang-orang yang lewat. Aku berjalan cepat sambil menunduk seperti anak kurang waras.

Berada di dalam kereta tidak membuatku lebih tenang. Topi harus kuturunkan sampai menutupi mata agar tidak ada penumpang lain yang mengajakku ngobrol di tempat duduk. Aku tidak mau kelihatan aneh oleh orang yang baru kukenal setelah melihat mataku bergerak kemana-mana waktu sedang mereka ajak bicara di gerbong yang ramai.

Setelah tiketku diperiksa, aku pura-pura tidur dengan telinga tertutup headphone kedap. Tidak ada musik yang kunyalakan. Aku cuma malas melihat dan mendengar terlalu banyak keributan.

Kereta berjalan konstan, meskipun getaran roda-roda besinya membuatku merasa seperti sedang duduk di atas ombak. Kadang gerbong berjalan sangat miring sampai aku harus berpegangan ke bawah kursi agar tidak roboh ke pundak bapak-bapak yang duduk di sebelah. Kadang getarannya bikin kaget setiap kali kereta melewati jembatan kurung.

Lima jam berlalu. Aku meregangkan badan setelah ahirnya turun di Stasiun Tugu. Kuturunkan topi ke mata untuk keluar menembus kerumunan orang. Ojek sudah berbaris di depan stasiun, menunggu mangsa untuk diantar.

"Ojek, Mas?" tawar salah satunya. "Mau ke kampus? Prambanan?"

"Ke Sleman, Pak."

"Sleman mana, Mas?"

Aku mengingat-ingat.

"Jalan aja," kataku. "Nanti kalo saya udah inget jalannya saya kasih tau Bapak."

"Oo... masih cari alamat? Daerahnya kaya apa, Mas?"

"Agak dingin. Sering banget hujan, trus kalo pagi suka ada kabut," jelasku sambil mengingat-ingat. "Di belakang rumahnya ada sungai kecil, tapi agak jauh juga ada sungai besarnya. Daerahnya banyak bukit kecil-kecinya. Apa itu masih Jogja ya, Pak?"

"Masih kok, Mas. Itu daerah Sleman utara. Deket Merapi. Ayo saya anter kesana."

Aku beruntung karena Bapak Ojekku orangnya baik. Agak menyiksa kuping memang, karena dia ngomong terus sepanjang jalan. Aku mendengarkan beliau bercerita tentang Sleman sambil melihat pemandangan yang kami lewati.

Awalnya ojek membawaku melewati kota Sleman. Kami lalu menyimpang ke pinggiran kota yang lebih sepi lalu lintas, lalu lebih jauh ke pedesaan yang banyak sawah padi dan ladang tebunya. Semakin jauh jenis tanaman pun berubah. Di jalanan yang lebih menanjak, sayuran seperti timun dan tomat menguasai ladang. Lalu ladang buah naga, sawi berhektar-hektar, bunga kol, brokoli, kubis dan wortel, dan kabut pun membutakan jalan.

"Mau hujan ya, Pak?" teriakku mengatasi angin dan bunyi motor.

"Nggak kok, Mas. Emang begini daerahnya. Suka ada kabut meskipun udah siang."

Kurapatkan jeketku yang ternyata masih kurang tebal. Kami melewati patung udang besar yang dibangun di tengah jalan. Aku mengingat patung ini seperti mimpi yang samar-samar. "Saya inget dulu sering lewat sini, Pak. Mungkin udah deket lokasinya."

Setelah itu kami berkali-kali berhenti untuk bertanya ke orang di jalan tentang deskripsi tempat yang kucari. Aku menyebutkan telaga yang sering kudatangi untuk main, tapi ahirnya kami malah dibawa nyasar ke beberapa tempat rekreasi. Aku sempat berpikir mungkin telaga itu sudah berubah atau hilang karena pembangunan tempat. Tapi Bapak tetap mendorongku untuk mencari. Bapak ini beruntung sekali karena selain baik, dia juga dapat ongkos banyak hari ini.

"Waaah," ahirnya Bapak menghentikan motor di jalan setapak yang sepi. Bau uap air yang segar tercium dari kabut putih yang tembus pandang. "Ketemu juga telaganya."

Aku turun dari motor sambil tersenyum senang. "Makasih, Pak."

"Beneran nggak mau dianter sampai ketemu rumahnya?"

"Nanti pasti ketemu di deket-deket sini."

"Ati-ati Mas tempatnya sepi."

"Tenang aja Pak, saya jago karate."

Bapak tertawa terkekeh-kekeh. "Ya, ya, udah keliatan! Badannya mantep!" dia memukul-mukul punggungku. "Ini nomor hape saya. Langsung telpon aja kalo butuh jemputan. Nanti saya kasih diskon buat Masnya."

"Makasih, Pak. Besok saya hubungi lagi kalo mau pulang."

Kami berpisah. Begitu suara motor Bapak menghilang, aku berdiri di tengah jalan setapak panjang itu sendirian. Kabut membuat rumput liar yang tumbuh di sekitar jalan terlihat basah seperti habis kehujanan. Aku suka baunya. Tidak seperti bau tanah yang kuat waktu tersiram gerimis, tapi lebih samar, bercampur bau daun dan kayu semak-semak. Aku ingat dulu sekali, aku sering main di sini dengan Kakak.

Tonggeret berbunyi nyaring. Ada lima yang berbunyi, tapi satu dari mereka sering sekali tiba-tiba berhenti. Aku melangkah mendekati telaga kecil di depanku. Luasnya hampir tepat 600m². Pantainya curam menukik ke dalam air, jadi orang akan terpeleset ke tengah meskipun berdiri di tempat yang dangkal. Di sini banyak sekali pohon beringin dan durian. Pohon-pohon yang tumbuh di tepian, rantingnya condong sehingga bayang-bayang daunnya yang rimbun tercermin di permukaan telaga. Perhatianku teralih ke sebuah pohon rambutan besar yang masih berbuah lebat. Persis seperti yang kuingat.

Kuraba batang pohonnya yang berkulit kasar. Pohon ini tidak bertambah tua meskipun aku sudah besar. Pohon ini milik Pak Haji Wahid, guru ngaji yang mengajariku baca Al-Qur'an. Dulu Kak Garnet sering mengajak bersekongkol untuk mencuri buahnya.

Aku menoleh mendengar bunyi ceburan benda besar yang jatuh di seberang telaga. Terlalu besar untuk ukuran berang-berang, apalagi hewan air semacam kadal. Pasti bukan durian jatuh karena pohon durian tidak tumbuh dekat ke air.

Air bergelombang hebat. Lingkaran gelombangnya yang berlapis-lapis membentur tanah cadas dan akar-akar pohon tua. Bunyinya berkecipak mengusik suara tonggeret. Aku berjongkok untuk melihat ke sisi lain telaga. Kabut tipis membuatku kesulitan melihat jauh dengan jelas. Sesuatu sedang berenang mendekat. Gerakannya mulus, tanpa sekali pun muncul ke permukaan.

Buaya?

Aku mundur selangkah tanpa berdiri karena waspada bercampur penasaran. Setelah berjarak tiga meter dari tepian, kepalanya menyembul dari dalam air dengan bunyi cipratan keras. Orang itu menarik napas dalam-dalam, puas karena berhasil menyelam sampai ke seberang.

Kami bertatapan. Pak Radit juga sama terkejutnya denganku. Kalung berantai perak yang bentuk liontinnya masih kasar seperti milikku tergantung basah di dadanya. Hanya saja warnanya merah pekat karena terbuat dari batu Garnet.

Pak Radit mengusap wajahnya dengan tangan. Dalam sekejap dia kembali tenang, tidak sepertiku yang tidak bisa bergerak. Dia mengentaskan diri dari air, mengenakan sandal dan kaos oblong yang disembunyikan di bawah rumpun ciplukan. Berjalan pergi begitu saja, melewatiku seolah aku tidak ada.

Aku berdiri untuk berbalik ke belakang.

"Kak," panggilku. Dia berhenti.

Mulutku terkunci waktu dia menoleh. Susunan kata di otakku jadi berantakan. Aku menatapnya lekat-lekat. Pak Radit membalas tatapanku dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Aku bertanya-tanya kenapa dia menatapku dengan cara seperti itu. Tidak seperti Pak Radit.

Aku melangkah mendekat. Langkahku berhenti di depan ujung sandal jepitnya. Mataku tergenang. Aku jadi tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena pupil mataku tertutup air. Aku memeluknya tanpa berpikir, entah dia setuju atau tidak. Ototnya tetap menegang sekeras batang pohon rambutan.

"Kak," kataku mengeratkan pelukan, berharap keberadaanku cepat disadarinya. "Kemana aja?"

Aku merasa bodoh karena cuma itu yang bisa kukatakan. "Pulang, Kak."

Dia meletakkan tangan di belakang kepalaku. Menepuk-nepuk punggungku pelan dan berirama, seperti sedang membuat tempo dasar musik yang sangat lambat. Dulu aku sering gendong di punggungnya. Dia membawaku sambil lari kencang ke rumah. Rasanya seperti naik roller coaster yang bisa teriak-teriak.

Air mataku membanjir keluar. Aku ingat sekarang. Ingat kemana jalan pulang.

҉

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang