Pak Radit duduk di sisi lain api unggun yang nyaris mati. Dia mengotak-atik arang untuk mencari sisa ubi. Untuk beberapa saat kami tidak saling mengganggu, membiarkan bunyi keretak-keretak arang yang terbakar mengisi keheningan waduk.
"Saya udah browsing," celetukku. "Latent inhibition."
Pak Radit menyimak, lebih seperti ingin mendengar bagaimana caraku menjelaskannya.
"Saya nggak ngerti," kataku. "Ga ada yang salah di situ, tapi ditulis seolah-olah isi paragrafnya penting buat dibaca."
"Misalnya?"
"Fakta truistic yang ditulis berulang-ulang," jawabku.
"Misalnya."
"Someone who suffers from LLI sees, hears, and smells in the same time," aku mengulang isi artikel. "Emang ada orang yang nggak?"
Pak Radit senyum. "Kebanyakan orang nggak melihat sebanyak yang kamu lihat. Rasanya pasti sakit banget di telinga, mata dan kepala kamu waktu berdiri di tempat ramai," jawabnya seolah-olah tempurung kepalaku transparan. "Banyak orang pendiam yang nggak suka tempat ramai, tapi mereka nggak merasakan sakit fisik seperti yang kamu alami tiap hari. Mungkin selama ini kamu nggak sadar, atau nggak peduli, that you show quite a creepy reaction while facing some noise."
"Like?"
"REM."
REM adalah fenomena mata yang bergerak-gerak sangat cepat, tapi hanya terjadi waktu orang sedang bermimpi dalam tidur. Aneh sekali kalau mataku bisa begitu waktu sedang dalam kesadaran penuh.
"Mata kamu selalu bergerak cepat ke segala arah. Seperti melihat ke semua sudut dan wajah dengan rakus, tapi tanpa rasa ingin tahu yang seharusnya ada di wajah orang dengan mata seperti itu."
Kali ini Pak Radit agak berlebihan. "Saya normal-normal aja."
Pak Radit masuk ke tenda lalu keluar lagi membawa ipad. Dia men-scroll down, lalu menyodorkan sebuah video. Aku memperhatikannya baik-baik. Video itu merekam anak laki-laki kulit putih berumur tiga belas tahunan yang sedang berjalan sejajar dengan kamera.
"You enjoy walking with me?" tanya suara Pak Radit di belakang kamera.
"Yeah, well," jawab anak itu sambil tetap berjalan menunduk.
"So you enjoy taking a walk?" tanya Pak Radit lagi.
"Nope."
"Hey, Mark. What d'you think they're doing?" Pak Radit terus bertanya untuk mengajaknya berkomunikasi. "Those kids over there."
Anak itu menegakkan leher untuk mengikuti telunjuk Pak Radit. Aku tidak bisa mengira-ngira kemana dia sedang melihat. Matanya bergerak liar ke segala arah seperti mata orang yang kebingungan, meskipun ekspresi mukanya datar-datar saja.
"They're collecting red leaves. Just playing around."
Aku mendongak ke wajah Pak Radit, hampir bertanya apa mataku terlihat seperti ini. Selama ini aku tidak pernah mengerti kenapa orang repot-repot menggeser kepala hanya untuk melihat pemandangan di belakang orang yang sedang mereka ajak bicara, karena waktu berbicara dengan seseorang aku juga melihat apa saja yang diam dan bergerak di belakangnya. Kupikir semua orang juga demikian.
"Namanya Mark Tresh," kata Pak Radit. "Subjek research saya yang pertama."
Aku diam memandangi layar karena masih tercengang. Inilah pertama kalinya aku melihat seseorang yang menderita LLI.
"Mau jalan-jalan?" ajak Pak Radit.
Pandanganku teralih ke wajahnya. "Bukannya udah malem?"
"Tadi sore saya ketemu tempat yang lumayan di sebelah sana," Pak Radit menunjuk hutan. "Jalannya juga aman."
KAMU SEDANG MEMBACA
RALD
Teen FictionKadang terlalu sempurna berarti abnormal. Berkali-kali top-5 di #Keren #Psikologi