Kakak

355 52 0
                                    

Aku sembunyi di selokan kering yang tertutup pagar tanaman. Pohon-pohon saman yang rimbun menjulang membentuk atap-atap daun yang gelap menutupi langit. Sudah 15 menit aku jongkok di sini sampai kesemutan. Panthera masih berdiri sendirian di kegelapan, sesekali memeriksa arloji. Sedang apa dia di tempat sepi malam-malam begini?

Aku terlonjak kaget waktu bahuku disentuh.

"Sssh!" desis Pak Radit yang tiba-tiba sudah membungkuk di belakang punggungku.

"Ngapain Bapak di sini?" bisikku jengkel.

"Ngikutin kamu," jawabnya ikut-ikutan berbisik. Sejak kapan aku lupa kalau Pak Radit orangnya memang aneh.

"Ngapain Bapak ngikutin saya?"

Pak Radit menunjuk ke Panthera. Sepertinya bukan cuma aku yang berfirasat tidak enak.

"Pulang dari latihan tadi dia jalan sambil nengok kanan-kiri seperti orang yang nggak pengen diikuti," jelasnya. Sekarang aku jadi kepo maksimal.

Saat itu kulihat dua orang laki-laki yang mengantongi pisau lipat berjalan mendekati Panthera. Salah satunya memegang kantong plastik berisi serbuk putih. Aku beranjak berdiri, bermaksud memperingatkan Panthera tentang adanya bahaya.

Pak Radit menahan bahuku. "Nanti."

Kaki kedua orang itu lewat di depan kami. Wajah mereka tidak begitu jelas karena pandanganku terhalang daun tanaman yang memagari selokan. Kantong plastik itu berbau obat yang harum menyengat seperti vitamin sintetis.

"Kokain," seru Pak Radit. Tangannya masih menahan bahuku dengan protektif.

Panthera menukar kantong plastik dengan segulung tebal uang kertas yang diikat dengan karet gelang. Dua laki-laki itu menghitung uang Panthera. Laki-laki yang berdiri di belakang membisiki laki-laki yang berdiri di depan sambil pelan-pelan mengeluarkan pisau lipat.

"Panthera!" teriakku sambil melompat keluar. "LARI! Buruan!"

Panthera kaget melihat kedua orang itu memegang pisau lipat. Spontan kami lari tapi kedua laki-laki itu mengejar. Kudengar teriakan Pak Radit di belakang, tapi pengejarku sudah terlalu dekat di belakang punggung.

"RALD!" raung suara Pak Radit.

BUG!! Sesuatu yang berat menghantam kepalaku. Cairan kental yang hangat meleleh di pelipisku. Aku merasakan tusukan pisau, tapi mata dan pendengaranku kabur seiring menurunnya kesadaran. Tubuhku roboh membentur tanah. Aku pingsan.

҉

Aku bangun di tempat yang baunya paling familiar sedunia. Rumah sakit.

Kuraba bahu dan pinggangku yang terasa nyeri. Sepertinya habis dijahit karena terbungkus perban rekat. Mungkin pinggangku kena tusuk karena rasa sakitnya mengganggu pernapasan. Pak Radit tidur menelungkup dengan kepala di atas lengan yang terlipat ke pinggir ranjangku. Sikunya terbalut perban. Bagaimana dengan Panthera?

Kepalaku semakin pusing tak tertahankan. Dengan suara keras aku muntah ke lantai. Pak Radit terbangun kaget. Dia menopang punggungku, dan pelan-pelan membantuku berbaring lagi ke ranjang.

"Kamu gegar otak. Nggak usah terlalu banyak gerak," ujarnya.

Aku melirik ke tangan kiriku yang tersambung dengan selang infus. Mataku terbelalak. Di pangkal selang yang mengalirkan cairan merah, sebuah kantong infus kecil menggantung di atasku berisi darah. Aku langsung bangkit meskipun kesakitan.

"Rald?" Pak Radit mencegahku melepas selang infus. "Kamu ngapain? Jangan dilepas!"

"Bapak ga pernah baca buku Biologi? Kalo antigen darah normal masuk ke darah saya, saya bisa mati!"

"Dengar dulu!" Pak Radit mengekang tanganku. "Darah ini rhesusnya juga negatif. B negatif."

Aku berhenti meronta. "Bapak nelfon Ayah saya?" tanyaku nyaris marah.

"Ayah kamu belum dengar kabar apa-apa."

"Maksudnya kebetulan ada bule berrhesus negatif malem-malem gini yang mau jadi donor darah?" tanyaku, yang kemudian sadar kalau hal itu terlalu bagus untuk menjadi sebuah kebetulan. Dan bukannya rumah sakit di Surabaya tidak punya sediaan darah rhesus langka?

"KAK!" teriakku spontan. Pak Radit terkejut tapi berusaha mengekangku.

"Kamu mau kemana?" Pak Radit mencegahku turun dari ranjang.

"Kakak saya di luar!"

"Nggak ada siapa-siapa di luar."

"Dia di luar! SAYA MAU KEJAR DIA!"

"Kamu habis pendarahan, Rald."

"LEPAS!" bentakku meronta sekuat tenaga. "BANGSAT!"

BRAK! Pak Radit mendorongku roboh ke ranjang. Aku meraung kesakitan, lantas berguling minggir sampai jatuh dari ranjang. Tiang infus roboh karena tertarik paksa. Aku melepas plester infus sambil berlari keluar. Perawat yang bertugas jaga malam berlarian kaget mendengar keributan. Aku terhuyung-huyung dengan seluruh tubuhku yang sakit dan pandangan mata yang kabur.

Kakiku berhenti sesampainya di koridor luar yang sepi. Sunyi. Bahkan rumah sakit sebesar ini pun bisa sekosong ini. Sambil menahan rasa sakit di pinggang, aku mengatur napasku yang tersengal-sengal. Koridor kosong ini menyakitiku dengan rasa yang lebih tak tertahankan.

Tentu saja Kakak sudah pergi. Atau sebenarnya cuma aku saja yang mengharapkannya selama ini, meskipun dia tidak pernah ingin pulang. Mungkin saja darah itu dibeli rumah sakit dari bank darah. Lucu sekali kalau setelah belasan tahun aku mengira Kakak akan pulang hanya karena aku sedikit terluka.

"Rald," Pak Radit berdiri di depan pintu bangsal. Aku menoleh ke belakang, bertemu dengan mata Pak Radit yang masih setenang biasanya.

"Kamu bisa dimarahi perawat kalau jahitan operasinya sampai lepas," katanya lirih. "Kepala kamu juga belum boleh dibawa jalan."

Aku memandang kosong ke lantai. Darah menetes-netes dari bekas lubang jarum infusku yang ditarik paksa.

"Ayo," ajaknya. "Saya pasangin lagi selang infusnya."

Aku terpaksa menurut. Kami berbalik untuk kembali ke bangsal. Kuabaikan para perawat jaga yang menunggu di balik pintu.

"Nggak sekalian diperiksa jahitan perutnya, Dok?" bisik salah satu perawat. "Takut luka tusuknya kebuka."

Pak Radit menjawab sambil menopang kedua bahuku. "Nanti saya periksa. Besok pagi tolong langsungkabari Dokter Prima, ya."

҉

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang