Camping

555 79 7
                                    

"Udah semua?" tanya Bu Safir. "Cek dulu itu di tasnya siapa tau ada yang kelupaan."

"Udah dua kali cek, Ma, capek cek-cek mulu," bantah Ara yang buru-buru karena sudah telat lima menit menurut jadwal ketemuan dengan Pak Radit.

"Ya udah ati-ati," kata Bu Safir. "Jangan lupa telpon kalo udah nyampe, ya."

Meskipun sibuk seperti biasa, Ayah menyempatkan kabur dari rumah sakit untuk mengantarku dan Ara ke sekolah. Aku bawa matras dan ransel besar yang berisi perlengkapan camping-ku dan Ara sekaligus, biar beban Ara cuma tinggal ransel yang berisi kebutuhan pribadinya sendiri.

Steven dan Liza yang selalu on time sudah menunggu di trotoar depan sekolah. Ayah langsung kembali ke rumah sakit begitu aku bergabung dengan mereka. Tujuh menit kemudian Yoga dan Mita datang sehingga kerumunan pun menjadi ribut.

"Coy!!" teriak Alan dari seberang jalan. Dia melambai-lambai girang karena berhasil membawa Rani ikutan.

Teman-teman melonjak-lonjak histeris waktu Pak Radit datang bawa mobil sewaan. Penampilan Pak Radit kelihatan jauh lebih santai karena pakai kaos oblong putih biasa. Aku melirik Ara yang senyum-senyum terpesona. Apa segitu bagusnya Pak Radit sampai dia sebegitu ngefansnya?

"Udah lengkap?" tanya Pak Radit turun dari mobil.

"Lengkap, Pak!"

"Siap berangkat?"

"SIYAAAAAP!!"

Sementara yang lain berebutan masuk ke mobil, aku berdiri di trotoar untuk antri. Sialnya yang tersisa cuma kursi depan di sebelah Pak Radit yang pegang kemudi. Kulihat kursi-kursi belakang yang penuh dan berisik. Setidaknya duduk di depan tidak akan terlalu bising.

"Tutup dong Rald kacanya," pinta teman-teman dari belakang.

"Kenapa kalau dibuka?" tanya Pak Radit.

"Gapapa sih, Pak. Cuman kekencengan aja anginnya."

"Ga bisa pake AC juga, Pak," dukung yang lain. "Panas!"

"Kita jalan pelan-pelan aja soalnya lokasinya dekat. AC-nya juga bisa sampai ke belakang kalau dinyalain penuh," bujuk Pak Radit.

"Ya udah deh gapapa," jawab mereka terpaksa.

Pak Radit senyum. "Berangkat?"

"BERANGKAAATT!!"

Mobil melaju keluar kota. Kami tidak lewat jalan poros, tapi Pak Radit sengaja memilih jalan kecil yang bebas macet di bawah tol-tol berkaki gemuk. Tentu saja jalan seperti ini juga tidak mulus karena banyak sepeda, becak, dan pejalan kaki yang menghambat. Kutundukkan kepalaku menghindari pemandangan di depan kaca mobil sambil menahan diri untuk tidak menutupi telingaku yang sakit.

"Za, minta keripiknya, dong!"

"Yang itu apaan, Lan?"

"Kentang goreng."

"Kok letoy?"

"Emang mau yang dikasih plastik?"

"Rald, mau kerupuk pasir gak?"

"Eh mau dong, Ra."

"Mau mau mau!"

"Mit, bagi jambunya napa!"

"Apa nih wangi banget?"

"Kue, Ra?"

"Iya bikin sendiri. Mau?"

"MAUUU!!"

Aku menarik napas panjang sambil merapatkan kelopak mata.

"Ada headphone kedap di dashboard," kata Pak Radit. Aku pura-pura tidak dengar. Kalau kuambil, sama saja aku mengakui kalau aku kurang normal.

RALDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang