dua puluh lima: obat terbaik

319 59 10
                                        

"Apa yang sebenarnya terus kau pikirkan?" tanya Suho ketika ia dan Chanyeol tengah makan malam. Lebih tepatnya hanya Suho yang menyantap makan malamnya sedangkan Chanyeol tampak tidak tertarik sama sekali untuk mengisi perut.

Chanyeol hanya memainkan sumpit di tangannya tanpa menyentuh hidangan yang tersedia di depan mata. Sejak kemarin malam pikiran lelaki itu tidak pernah fokus. Ia hanya menjawab iya untuk semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Mungkin jika sekarang Suho meminta lelaki itu untuk berlutut maka ia akan benar-benar melakukannya.

Suho menaruh sumpitnya ketika sadar bahwa ada suatu beban dipikiran lelaki itu. Bukan hanya sekedar karena pekerjaan mereka yang mulai menumpuk, tapi ada suatu hal lain yang tidak bisa berhenti Chanyeol pikirkan. "Kau harus bicara." ucap Suho. Nada suara lelaki itu berubah menjadi suara seseorang yang lebih dewasa dari pada usia aslinya.

Chanyeol hanya menatap lelaki di hadapannya dengan datar sebelum kembali menatap makan malamnya.

"Apa ini ada hubungannya dengan Naeun yang tidak bekerja selama dua hari ini?"

Melihat tubuh Chanyeol yang tiba-tiba menegang, Suho tahu pertanyaan yang ia ajukan sudah berisi jawaban pertanyaan itu sendiri. "Apa gadis itu sakit?" tanya Suho. Sudah dua hari gadis itu menghilang tanpa ada kabar, meninggalkan setumpuk pekerjaan ditangan Suho.

"Sakit?" kini Chanyeol menjawab lalu tersenyum perih. "Mungkin kata yang tepat adalah tersakiti."

"Apa yang sebenarnya terjadi diantara kalian?" Suho nyaris gila dibuatnya.

Suara kayu beradu terdengar ketika Chanyeol berdiri dari kursi. "Aku harus mengulang rekaman." ucap lelaki itu lalu pergi meninggalkan Suho.

"Kau bahkan belum menyentuh makan malammu." gumam Suho ketika Chanyeol menghilang di balik pintu.

Chanyeol kembali menuju lantai tiga gedung kantor mereka untuk kembali melakukan rekaman. Namjoo yang memintanya untuk datang. Keduanya memang sering terlibat dalam produksi lagu. Chanyeol cukup mahir untuk memainkan berbagai instrumen musik dan hal itu sangat membantu Namjoo dalam pembuatan lagu.

"Kau sudah datang." sambut Namjoo ketika Chanyeol tiba di dalam studio rekaman. Seperti biasa gadis itu tengah duduk di balik monitor dengan earphone menggantung di leher jenjangnya.

Chanyeol mengangguk lalu duduk di sebelah gadis itu. "Kau sudah makan malam?" tanya Chanyeol.

Namjoo hanya diam yang langsung Chanyeol pahami sebagai jawaban tidak. "Kau memang keras kepala."

Namjoo terdiam mendengar ucapan lelaki di sebelahnya. Entah mengapa rasanya Chanyeol bukan bicara kepada Namjoo, seakan kata-kata itu ditujukan untuk orang lain. Ada yang berbeda dari lelaki ini sejak beberapa minggu terakhir. Namjoo tidak yakin kapan tepatnya. Chanyeol yang ia kenal bukanlah Chanyeol yang bertanya apa ia sudah makan atau belum, tapi Chanyeol yang tiba-tiba datang membawa makanan dan menyuruh gadis itu untuk makan.

Chanyeol berubah dan hal itu adalah hal yang paling Namjoo takutkan selama ini. Namjoo berbohong jika selama ini sikap perhatian Chanyeol tidak membuat hatinya tergerak. Ia hanya bertingkah seakan hal itu tidak terjadi.

"Aku akan mengambil beberapa barang dulu di dalam." Tempat yang Namjoo maksud adalah bagian lain dari ruangan itu.

Chanyeol tengah memperhatikan gerak-gerik Namjoo ketika ia melihat kaki gadis itu tersangkut pada sebuah kabel dan memicu jatuhnya pengeras suara di atas kepala. Lelaki itu langsung berdiri dari tempatnya dan mendorong Namjoo agar tidak tertimpa benda berat itu. Namun ia terjatuh dan kakinya yang panjang tertimpa kotak hitam besar itu.

"Chanyeol-ah!" Namjoo segera berlari menghampiri Chanyeol dan mendorong sekuat tenaga pengeras suara yang menimpa kaki lelaki itu.

Chanyeol hanya merintih kesakitan. Celana yang ia gunakan sedikit sobek dan kulit dibawahnya mengeluarkan cairan kental berwarna merah segar. Ia menatap Namjoo yang khawatir di sebelahnya. "Kurasa aku mendorongmu terlalu kuat." ucap lelaki itu.

ReplayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang