dua puluh empat: ingatan

322 58 16
                                    

Dengan mata yang membengkak, Naeun menghabiskan sisa harinya dengan berdiam diri di dalam kamar. Satu per satu tanda tanya dihidupnya kini sudah terjawab. Kini gadis itu tahu kenapa ia selalu dijauhkan dari dunia hiburan dan itu untuk kebaikan dirinya sendiri. Kedua orang tuanya—fakta itu tidak berubah untuk Naeun, hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk melindunginya. Ia sangat yakin mereka menyayanginya sama seperti ia menyayangi mereka. Fakta bahwa mereka bukan terikat sebagai orang tua dan anak tidak merubah perasaan itu.

Naeun tidak menyalahkan kedua orang tuanya atas apa yang terjadi. Mereka hanya menampung gadis itu ketika ia dibuang. Setidaknya itu satu-satunya hal yang dapat Naeun pikirkan. Ibunya membuang dirinya. Seharusnya wanita itu tidak perlu kembali dan mengacaukan segalanya. Seharusnya wanita itu tetap di Kanada dengan segala kehidupan mewahnya.

Air mata nyaris jatuh kembali dari mata gadis itu ketika ia sadar bahwa wanita itu tidak pantas ia tangisi. Untuk apa ia menangisi seseorang yang jelas tidak menginginkannya?

"Naeun-ah, ayo makan malam."

Suara Woohee terdengar dari luar pintu. Naeun belum makan apa-apa selain secangkir teh yang ia minum tadi pagi. Ia merasa hanya berdiam diri di kamar ketika ibunya berpikir bahwa gadis itu mengurung diri.

"Aku akan keluar sebentar lagi." ucap Naeun untuk menenangkan ibunya.

Woohee tidak mendesak atau memaksa gadis itu untuk segera keluar seperti biasanya. Ia tahu semuanya pasti tidak mudah dan tidak bisa kembali semula. Ia hanya perlu membiasakan diri dengan itu. "Kami menunggumu di meja makan." ucap Woohee sebelum meninggalkan pintu kamar Naeun.

Naeun benar-benar tidak memiliki selera untuk makan. Lidahnya sedang tidak bisa merasakan apapun, juga hatinya. Namun ia yakin ibunya tengah mengkhawatirkan dirinya sekarang. Maka gadis itu turun dari kasur dan berjalan menuju meja makan.

"Aku ingin mencari udara sebentar. Kalian makan saja lebih dulu." ucap Naeun sebelum melangkah keluar dari rumahnya.

Langit sudah kembali gelap ketika ia kembali menyusuri jalanan komplek tempat ia tinggal. Ia tidak memiliki tujuan sekarang. Ia hanya ingin keluar rumah agar ibunya tidak lagi khawatir.

"Aku melupakan ponselku." gumam Naeun setelah merogoh saku mantelnya dan tidak menemukan apa-apa disana.

Gadis itu baru saja berbalik badan untuk kembali ke rumahnya ketika sebuah suara yang ia kenali terdengar.

"Sampai kapan?"

Naeun kembali membalikkan tubuhnya dan menemukan Chanyeol berdiri dua meter darinya. Lelaki itu tampak lebih lesu dari terakhir kali Naeun melihatnya. Kantung matanya tampak jelas dan bibir lelaki itu tampak pucat. "Sampai kapan kau akan memintaku untuk meninggalkanmu sendiri?" Ia melanjutkan.

Melihat Chanyeol berada dijangkauannya, Naeun ingin berlari dan kembali berada didekapan lelaki itu. Ia ingin menceritakan semua masalahnya. Ia ingin kembali menangis di bahu itu. Ia ingin kembali digenggam oleh tangan lebar lelaki itu. Tapi yang bisa ia lakukan hanya menatap dan berharap ketika ia ingat siapa lelaki itu. Perasaan benci datang begitu saja ketika ia ingat bahwa lelaki itu seorang penyanyi, sama seperti ibunya. Ia tidak ingin terjerumus dalam hal yang sama lagi. Ia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama yang dilakukan kedua orang tua kandungnya dengan terlibat di dunia hiburan.

"Aku tidak berniat memintamu untuk kembali. Jika kau ingin pergi, maka lakukan sekarang." ucap Naeun dengan tatapan tertuju ke arah pohon-pohon tak berdaun di antara mereka.

Chanyeol baru saja maju satu langkah ketika Naeun melakukan hal yang sama dengan arah berlawanan. "Apa kau membenciku sekarang?" Chanyeol menghentikan langkahnya setelah mengerti bahwa Naeun tidak ingin ia menghapus jarak diantara mereka.

ReplayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang