Dengan bersemangat melangkahkan kaki, Ettan sudah duduk di motor kesayangannya. Ettan sudah berniat untuk mengaku salah dan meminta maaf kepada Vandra meskipun harus berlutut padanya. Ettan bertekad untuk hal itu, karena ia sadar yang ia lakukan kemarin benar-benar dilewat batas.
"Ettan, kamu belum sarapan" Chiara keluar dari rumah dan menginterupsi anaknya "Turun dari motor, kita sarapan dulu"
"Bun, aku sudah telat nih. Sarapannya nanti di sekolah aja"
Ettan mengatakan hal itu sebenarnya hanya ingin mengejar Vandra sebelum Vandra berangkat ke sekolah sendiri seperti yang Vandra lakukan beberapa hari belakangan ini.
"Yaudah tapi jangan makan sembarangan ya, nanti perutmu bermasalah" Chiara mengingatkan.
"Siap Bunda" Ettan membuat gerakan hormat yang membuat Chiara sedikit terkekeh "Yaudah Bun, aku berangkat sekolah dulu ya"
Ettan langsung melajukan motornya setelah berpamitan dengan Bundanya. Ettan sepertinya langsung tau kemana ia harus pergi. Kesalahannya membuat ia begitu amat menyesal, meskipun ia tau bahwa kemungkinan untuk dimaafkan oleh Vandra sangat kecil. Tetapi Ettan juga masih ingat bahwa Vandra sama sekali belum mengatakan putus padanya dan Ettan masih ingin harapan yang ia simpan itu akan berbuah manis.
Dari kejauhan Ettan sudah menatapnya. Vandra keluar dari gerbang dan menemui seseorang yang ia yakin bukan seorang tukang ojek, karena laki-laki itu memakai celana abu-abu seperti dirinya. Vandra menaiki motor tersebut setelah beberapa saat berbicara sesuatu. Ettan memutuskan untuk mengikuti motor tersebut dari belakang.
Ettan melajukan motornya karena ia ingin melihat wajah laki-laki yang sekarang telah berhasil membonceng Vandra. Akhirnya ia berhasil menatap mata laki-laki tersebut tanpa terkejut, karena sejak tadi hatinya telah berbisik sebuah nama yang begitu kuat di telinganya. Benar, itu Gerald. Lalu tanpa peduli Ettan melajukan motornya dengan kecepatan yang tinggi tidak peduli dengan apa yang dilihatnya lagi. Ia hanya bisa sedikit tersenyum miris.
Entah apa yang sekarang ia rasakan. Haruskah Ettan menyesali semua yang telah ia lakukan kemarin? Ettan merasa begitu kalah dengan keadaan, kalah dengan waktu dan kalah dengan emosi. Andai kemarin ia tidak mendiamkan Vandra dan menanyakan semua hal yang ia lihat pada malam itu. Andai kemarin ia tidak mengucapkan kata kasar dan membiarkan Vandra untuk berbicara sebentar. Andai kemarin ia tidak menemui Freya dan memilih menemui Vandra. Semua ini tidak akan terjadi jika Ettan berpikir positif. Kebodohan yang amat disesali bahkan tidak pantas untuk disesali. Ettan merasa semua ini adalah salahnya dan ia ragu untuk memperbaiki semuanya. Apakah kini ia harus menyerah dengan semua keadaan?
"Tersenyumlah wahai babang tamvan, meskipun hari ini memang langit sedang mendung" ujar Juna dengan sedikit mencolek dagu Ettan.
Ettan menepisnya dengan kasar.
"Kenapa sih? Galau?" Juna terkekeh senang "Akhirnya gue punya temen galau" ucapnya dengan riang.
"Di luar mendung?"
Juna mengangguk dengan pasti "Mengkhawatirkan neng inces nya ya belum datang?"
Ettan hanya menatapnya dengan sinis tanpa menjawabnya.
"Tumben ya Vandra belum datang, biasanya dia lebih dulu dari pada gue. Apa dia gak masuk karena galau juga?"
"Dia sekolah kok" ucap Ettan dengan sedikit menunduk. Ia amat malas menatap sepupunya yang konyol itu.
Juna sedikit mendecak "Udahlah, lo minta maaf. Lagian lo juga yang salah. Kalau kalian putus, gue juga ngerasa kehilangan. Lo tau sendiri kan, selama ini Vandra bukan peduli sama lo aja tapi sama gue dan Elang"
KAMU SEDANG MEMBACA
Vandra & Ettan
Подростковая литератураCERITA SUDAH LENGKAP DAN TIDAK DI PRIVATE YAA! FREE FOR READ! Ettan Orlando Janes: Ettan Orlando Janes adalah siswa laki-laki yang takut akan Tuhan, taat pada agama, sayang dengan keluarganya, dan pengamal pancasila yang baik. Kehidupannya berjalan...